Menag Imbau Masyarakat: Kalau Ada Capres Pernah Pecah Belah Umat, Jangan Dipilih
"Harus dicek betul. Pernah nggak calon presiden kita ini, memecah-belah umat."
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama (Menag) RI Yaqut Cholil Qoumas mengimbau masyarakat agar tidak memilih pemimpin yang memecah belah umat dan menggunakan agama sebagai alat politik. Yaqut menyampaikan hal tersebut di Garut, Jawa Barat, dalam rangka menghadiri Tablig Akbar Idul Khotmi Nasional Thoriqoh Tijaniyah ke-231 di Pondok Pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut, Jawa Barat.
"Harus dicek betul. Pernah nggak calon pemimpin kita, calon presiden kita ini, memecah belah umat. Kalau pernah, jangan dipilih," kata Menag Yaqut dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (3/9/2023).
Menag Yaqut juga meminta masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. "Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat, rahmatan lil 'alamin, rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil Islami, tok," kata Menag.
Karena itu pemimpin yang ideal, menurutnya, harus mampu menjadi rahmat bagi semua golongan. "Kita lihat calon pemimpin kita ini pernah menggunakan agama sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya atau tidak. Kalau pernah, jangan dipilih," katanya menegaskan.
Menag menyampaikan pentingnya penelusuran rekam jejak saat menentukan calon pemimpin bangsa. Hal ini, kata dia, bertujuan agar bangsa Indonesia memperoleh pemimpin yang amanah dan dapat mengemban tanggung jawab kemajuan negeri ini.
"Saya berpesan kepada seluruh ikhwan dan akhwat ini agar nanti ketika memilih para pemimpin, memilih calon pemimpin kita, calon presiden, dan wakil presiden, kita, lihat betul rekam jejaknya," kata Menag.
Menag berharap Tarekat Tijaniyah dapat mengambil peran yang lebih besar menjelang tahun politik untuk mendamaikan umat, agar umat bisa tetap tenang, teduh, dan damai meskipun berbeda-beda dalam pilihannya.
"Bagaimana memilih pemimpin yang benar-benar bisa dipercaya, bisa diberikan amanah untuk memimpin bangsa besar. Bangsa yang memiliki keragaman, bangsa yang memiliki banyak perbedaan, tetapi itu menjadi kekuatan kita," ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas.
Pekan lalu, Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Kemenag), Amien Suyitno juga mengajak seluruh aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan kementerian itu untuk menolak politik identitas, karena dapat mengancam persatuan. Ia mendorong ASN harus menjadi agen yang bisa mengeliminasi setiap penggunaan politik identitas yang dapat memecah belah persatuan.
"Saya ingin menyampaikan pesan Gus Men (Yaqut Cholil Qoumas) tentang perlunya menolak politik identitas," ujar Amien dalam keterangan di Jakarta, Selasa, pekan lalu.
Amien mengatakan politik identitas harus ditolak, karena sangat berbahaya bagi harmoni dan kerukunan masyarakat Indonesia. Menurut dia, politik identitas dengan identitas manusia berbeda. Setiap orang tentu memiliki identitas masing-masing, baik jabatan, pekerjaan, kelompok gender, maupun agama, dan suku bangsa.
"Mengapa kita harus menolak politik identitas? Kalau terkait pentingnya identitas, memang iya. Lalu, apanya yang kita tolak? Yaitu politik identitas yang digunakan untuk kepentingan politik," kata dia.
Menurut Suyitno, identitas yang melekat, seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tentu tidak bisa ditolak. Sebab, semua itu merupakan bawaan lahir. Akan tetapi, jika itu digunakan untuk kepentingan politik praktis, harus ditolak.
"Sebab, itu berbahaya. Apalagi, politik identitas dengan nomenklatur agama itu lebih berbahaya lagi. Karena kita punya pengalaman bahwa hal itu bisa menjadikan disharmoni antarkeluarga," katanya.
Amien menambahkan disharmoni antarkeluarga masih bisa ditemui di masyarakat akibat perbedaan pilihan politik pada Pilpres 2019. Maka dari itu, menjadi penting untuk menolak politik identitas demi memperkuat harmoni di tengah perbedaan.
"Mereka belum move on. Ini nyata dan ini harus kita cegah," kata dia.
Sebelumnya, peneliti Perludem, Ihsan Maulana menilai, politik identitas menjadi komoditas politik akibat dari adanya polarisasi di masyarakat. Menurut Ihsan, itu banyak dipakai sebagai strategi politik karena murah.
"Politik identitas bisa dibilang strategi yang cukup murah," kata Ihsan.
Ihsan melihat, dibandingkan memakai politik uang yang sebelumnya jadi strategi, politik identitas banyak dipilih karena berbiaya murah. Cukup dimainkan politik identitas tanpa perlu mengeluarkan uang yang besar.
"Dimainkan emosi pemilih, disampaikan narasi tidak baik, sangat murah," ujar Ihsan.
Maka itu, ia melihat, polarisasi yang menyebabkan politik identitas menjadi sesuatu yang menyeramkan. Sebab, hari ini politik identitas yang bernada negatif sudah menjadi komoditas yang penting bagi pemainnya.
"Cukup di satu daerah ada isu dari minoritas, disebarkan saja isunya," kata Ihsan.
Ia mengingatkan, politik identitas sendiri sebenarnya bukan isu baru, tapi semakin menguat sejak Orde Baru. SARA, isu keterwakilan perempuan, hak masyarakat adat, disabilitas sebenarnya bagian politik identitas.
Tetapi, belakangan itu jadi sesuatu terkesan negatif, harus dihindari, tidak boleh didekatkan dan seolah negatif. Itu disebabkan perkembangan politik identitas yang tadinya netral, tapi dibalut ujaran kebencian.
Politik identitas yang bernada negatif itu memuncak pada Pilpres DKI 2017 dan semakin membesar pada Pilpres 2019. Polarisasi membuat politik identitas disusupi ujaran kebencian, disinformasi, hoaks dan lainnya.
"Kenapa, karena polarisasi menyerang emosi, sesuatu yang memang lahiriah ada di diri kita, dimasukkan ujaran kebencian, misinformasi dan akhirnya emosi kita yang terserang," ujar Ihsan.