Meski Dilarang, 300 Muslimah Prancis Tetap Pakai Abaya ke Sekolah
Abaya di sekolah dianggap pelanggaran terhadap sekulerisme.
REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Sekolah-sekolah negeri di Perancis memulangkan “lusinan” siswi Muslim. Mereka mengenakan jubah tradisional abaya, yang telah dilarang di lingkungan pendidikan sejak minggu lalu.
Menteri Pendidikan Prancis melaporkan hampir 300 siswa tiba di sekolah dengan menggunakan abaya, pada hari pertama ajaran baru, Senin (4/9/2023). Pakaian panjang dan longgar hingga kaki ini mirip dengan djellaba yang dikenakan di Afrika Utara atau qamis yang populer di Afrika Barat.
Berdasarkan angka resmi, dilaporkan 298 anak perempuan ini sebagian besar berusia 15 tahun ke atas. Mereka mengenakan pakaian tersebut ke sekolah meskipun ada larangan.
Dilansir di Independent, Rabu (6/9/2023), sebagian besar dari mereka setuju mengganti pakaian mereka setelah ditegur oleh guru. Meski demikian, sebanyak 67 anak perempuan menolak mematuhi aturan dan dipulangkan.
Kini, mereka harus menghadapi diskusi lebih lanjut antara sekolah dan keluarga. Jika mereka menolak patuh, maka mereka dapat dikucilkan.
Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attal mengumumkan larangan penggunaan pakaian tersebut pada akhir Agustus. Menurutnya, hal ini sejalan dengan larangan sekuler Prancis terhadap tanda-tanda keagamaan di sekolah-sekolah negeri dan gedung-gedung pemerintah.
Bagi Attal, pakaian abaya yang dikenakan perempuan Muslim ini merupakan pelanggaran terhadap sekulerisme. Dalam beberapa kasus, ia menyebut hal ini merupakan upaya untuk mengganggu stabilitas sekolah.
Di tempat lain, siswa dan guru sama-sama dilarang mengenakan jilbab di sekolah-sekolah negeri sejak 2004. Bahkan, cadar yang menutupi seluruh wajah telah dilarang di ruang publik sejak 2010. Aturan tersebut juga mencakup pemakaian kippa Yahudi.
Prancis memiliki sejarah panjang sekularisme. Mereka menerapkan larangan ketat terhadap gambar-gambar keagamaan di sekolah sejak abad ke-19, untuk mengekang pengaruh Katolik dalam pendidikan publik.
Kritik terhadap kebijakan baru ini pun bermunculan. Beberapa berpendapat abaya yang dikenakan oleh perempuan dan gamis, pakaian laki-laki, tidak lebih dari sekadar pernyataan mode.
Mereka mengatakan pakaian tersebut bukan merupakan tanda agama yang mencolok. Pakaian-pakaian tersebut juga tidak boleh dilarang di ruang kelas, berdasarkan undang-undang tahun 2004.
Di sisi lain, pihak berwenang merasa khawatir simbol-simbol agama adalah pintu gerbang menuju radikalisme Islam. Sementara, beberapa umat Islam merasa mereka distigmatisasi dengan upaya untuk menyesuaikan diri dengan mereka. Untuk diketahui, Islam adalah agama terbesar kedua di Prancis.
"Sekolah kami terus diuji. Kami tahu itu,” kata Attal pada konferensi pers seminggu sebelum dimulainya tahun ajaran baru.
Ia mengatakan penggunaan abaya dan gamis adalah sebuah fenomena baru. Hal tersebut semakin berkembang akhir-akhir ini dan harus ditanggapi dengan tegas untuk mengatasi apa yang terkadang dianggap sebagai pelanggaran dan upaya destabilisasi.