Koalisi Partai dan Masa Depan Politik Indonesia
Faktor kedekatan, kekuatan uang, elektabilitas hingga popularitas memengaruhi keputusan siapa yang layak dimajukan.
Koalisi bakal capres dan cawapres menunjukkan sikap elitis pimpinan partai politik. Rakyat hanya dijadikan penonton atas perilaku elit yang memperlakukan proses pemilu sesuai dengan keinginan kelompok semata. Ini tentu ironi karena demokrasi sejatinya adalah kebebasan yang berjalan atas kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai politik.
Pada Pemilu 2019, Mahkamah Konstitusi menggelar sedikitnya 260 sengketa hasil Pemilu Legislatif (Pileg). Yang paling menyedot perhatian adalah ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan atas dugaan suap ratusan juta rupiah dari Harun Masiku. Bekas caleg yang kini buron itu mengincar kursi PAN dari Riezky Apriliam anggota DPR F-PDIP dapil Sumatera Selatan 1. Harun hanya bermodalkan 5.878 suara untuk menggeser Riezky dengan 44.402 suara.
Kasus yang kedua adalah yang terjadi di Partai Gerindra. Mulan Jameela, Yan Parmenas Mandenas dan Sugiono lolos ke Senayan meski kalah dalam perolehan suara. Manuver kemudian bergerak terstruktur dari DPP Partai Gerindra ketika kandidat yang sebenarnya lolos, dipecat dari partai politik sebelum penetapan resmi KPU. Calon yang lolos itu kehilangan legal standing sehingga batal menjadi anggota legislatif.
Dua kejadian di atas menunjukkan betapa partai politik memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan "wakil rakyat" bahkan capres dan cawapres. Ketua Umum partai adalah sosok yang tidak boleh didebat apalagi dibantah. Pemilu pun berubah menjadi ajang kapitalisasi politik. Adu gagasan dan ide menjadi hal yang sukar didapat ketika berbicara tentang partai politik menghadapi pemilu. Faktor kedekatan, kekuatan uang, elektabilitas hingga popularitas memengaruhi keputusan siapa yang layak dimajukan.
Persoalan ambang batas presiden (presidential threshol) menjadi perdebatan publik. Sebagian menilai penerapan PT 20% merampas hak konstitusional untuk mengajukan calon presiden. Teranyar saat ini adalah penentuan capres dan cawapres menghadapi Pemilu 2024.
Skema ini sebenarnya menjadi anomali karena di banyak negara tidak ada pemberlakuan demikian. Skema pilpres yang bersamaan dengan pemilu legislatif semestinya tidak memerlukan penerapan ambang batas. Amerika Serikat yang menjadi kiblat politik dunia dengan sistem presidensial, tidak memiliki aturan tersebut. Negara-negara lain seperti Brasil, Peru dan lainnya yang memiliki sistem multipartai, juga tidak memberlakukan ambang batas pencalonan presiden.
Partai politik dan rakyat Indonesia tidak berdaya ketika MK pada 11 Januari 2018 memutuskan bahwa penerapan ambang batas pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu, tidak bertentangan dengan konstitusi. Berbagai upaya warga untuk menggugat hal ini selalu kandas. Keputusan MK tersebut memutuskan parpol wajib berkoalisi untuk bisa mengusung pasangan calon presiden dan wakilnya pada pemilu 2024.
Kewajiban koalisi ini menjadi hal menyulitkan. Konsekuensi munculnya putra-putra bangsa terbaik akan sulit karena harus berhadapan dengan para pemain politik yang lebih senior. Partai politik pun akan lebih selektif dalam memunculkan sosok-sosok baru. Istilah 4L (lu lagi lu lagi) akan mendominasi wacana politik publik Indonesia.
Mengacu pada pemilu 2019, partai politik tidak terlalu banyak membuka partisipasi dan kesempatan bagi masyarakat. Proses kandidasi masih cenderung ditentukan oleh dominasi elit partai. Tidak hanya itu, realitas yang ada masih memperlihatkan bahwa praktik oligarki partai masih terjadi. Hingga kini sebenarnya kita masih melihat bagaimana partai politik mencalonkan istri, anak, menantu dan keluarganya sebagai calon anggota legislatif. Itu bisa terlihat dari banyaknya spanduk dan banner yang menghiasi pinggir jalan.
Untuk merumuskan capres dan cawapres tidak berbeda. Partai politik tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengajukan kandidat atau figur dari kader-kadernya sendiri. Sehingga, mereka lebih memilih untuk mendukung figur yang diusung partai lain. Pilihan pasangan kandidat dan pembangunan koalisi antarpartai ini bukan berdasarkan kinerja, rekan jejak dan loyalitas, melainkan hasil dari keputusan ketua umum parpol yang cenderung pragmatis. Dengan kata lain, koalisi parpol terjadi hanya untuk memenangkan persaingan dan merebut serta bagi-bagi kekuasaan.
Kita tentu menginginkan proses pemilu yang berkualitas. Pemilu merupakan penentu kehidupan demokrasi kita yang digelar setiap lima tahun. Pemilu menghasilkan debat publik, membentuk agenda kebijakan, memilih keterwakilan, menentukan komposissi parlemen hingga memengaruhi distribusi kekuasaan di pemerintahan. Pemilu membutuhkan transparansi, akuntabilitass, persaingan partai yang sehat dan kuat, rotasi reguler partai dalam pemerintahan, penghormatan luas terhadap hak politik sipil, kesetaraan dan aksses saluran komunikasi politik. Dengan begitu, rakyat akan memiliki kemampuan untuk memilih siapa yang terbaik dalam membawa Indonesia mengarungi kehidupan yang lebih menantang di masa depan.