Rusia Tolak Usulan PBB Kembali Hidupkan Kesepakatan Biji-bijian

Rusia meminta bank pertaniannya kembali ke sistem pembayaran SWIFT.

AP
Masalah keamanan operasi jalur distribusi gandum masuk dalam agenda pertemuan tingkat tinggi perwakilan Turki, Rusia, Ukraina, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang akan diselenggarakan pada 10-11 Mei di Istanbul
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia tetap berpegang pada persyaratannya untuk kembali ke kesepakatan gandum Laut Hitam yang dihentikan pada Juli. Moskow menolak tawaran yang sebelumnya telah diajukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Baca Juga


“Perjanjian tersebut mengatakan bahwa SWIFT harus terbuka untuk Rosselkhozbank, dan bukan untuk anak perusahaannya. Artinya, kita berbicara tentang perlunya kembali ke dasar, ke perjanjian yang ada pada awalnya dan yang dijanjikan kepada kami akan dipenuhi. " kata juru bicara Istana Kremlin Dmitry Peskov.

Secara khusus, Peskov mengatakan, Rusia memerlukan bank pertanian negaranya untuk dihubungkan kembali ke sistem pembayaran bank SWIFT. Pernyataan ini secara tidak langsung merujuk pada penolakan usulan PBB untuk memasukan anak perusahaan bank tersebut.

Rusia mengatakan ekspor biji-bijian dan pupuknya, meskipun tidak secara khusus dilarang oleh negara-negara Barat, menghadapi hambatan dalam praktiknya. Sanksi yang ditetapkan mempengaruhi akses pelabuhan, asuransi, logistik dan pembayaran, termasuk penghapusan bank pertanian Rosselkhozbank dari SWIFT.

PBB telah mengusulkan agar anak perusahaan Rosselkhozbank yang berbasis di Luksemburg dapat segera mengajukan permohonan ke SWIFT. Langkah ini untuk secara efektif memungkinkan akses bagi bank tersebut dalam waktu 30 hari.

“Semua kondisi kami sudah diketahui dengan baik. Kondisi tersebut tidak memerlukan interpretasi, kondisi tersebut benar-benar konkrit dan semua ini dapat dicapai,” kata Peskov.

Menurut Peskov, Moskow mempertahankan posisinya yang bertanggung jawab, jelas dan konsisten, yang telah berulang kali disuarakan oleh Presiden Rusia Valdimir Putin. “Presiden dengan jelas mengatakan bahwa jika sudah terpenuhi, maka kesepakatan akan segera dilanjutkan. Tapi tidak sebaliknya,” ujarnya.

Pernyataan kembali sikap Moskow yang tanpa kompromi terjadi lima hari setelah Putin bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan membahas masalah gandum. Rusia tampaknya mendapat dorongan dari pernyataan Erdogan pada pertemuan itu, bahwa Ukraina harus melunakkan pendekatannya dalam pembicaraan mengenai menghidupkan kembali Black Sea Grain Initiative.

Kiev juga perlu mengekspor lebih banyak biji-bijian ke Afrika daripada ke Eropa. Erdogan juga mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di KTT G20 di India mengenai upaya untuk menghidupkan kembali perjanjian tersebut.

Sedangkan Ukraina mengatakan, pihaknya tidak akan mengubah pendiriannya dan tidak akan menjadi sandera pemerasan Rusia. Sedangkan Presiden Dewan Eropa Charles Michel dalam pidato KTT G20 di New Delhi pada Sabtu (9/9/2023) menyatakan, kesepakatan gandum telah memberikan kepada negara-negara rentan lebih dari 30 kali lipat volume yang ditawarkan Rusia ke Afrika. "Dan betapa sinisnya... Anda tidak menerima ini," katanya dalam komentarnya mengenai kesepakatan gandum yang ditujukannya kepada perwakilan Rusia dalam pertemuan itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.

Michel menyatakan, tawaran satu juta ton gandum ke negara-negara Afrika adalah parodi kemurahan hati. “Sungguh sinisme dan penghinaan terhadap negara-negara Afrika,” ujarnya.

Kesepakatan Laut Hitam ditengahi oleh Turki dan PBB pada Juli 2022 untuk memungkinkan Ukraina mengekspor biji-bijian melalui laut meskipun terjadi perang dan membantu meringankan krisis pangan global. Hal ini disertai dengan perjanjian untuk memfasilitasi ekspor makanan dan pupuk Rusia, yang menurut Moskow belum dipenuhi.

Sejak keluar dari kesepakatan gandum, Rusia telah berulang kali mengebom pelabuhan dan gudang gandum Ukraina. Serangan ini mendorong Kiev dan negara-negara Barat menuduh Moskow menggunakan makanan sebagai senjata.

“Anda tidak hanya memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian di Laut Hitam ini, namun pada saat yang sama Anda menyerang infrastruktur pelabuhan. Anda memblokir pelabuhan yang memberikan akses ke Laut Hitam, dan bahkan ke Danube," ujar Michel. 

 

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler