Pengamat: Diperlukan Rencana Matang dalam Mengurangi Emisi dan Polusi

Masalah terkait polusi merupakan perkara kompleks.

Republika/Putra M. Akbar
Air yang disemprotkan ke udara di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2023). Dalam satu hari, sekitar 1.000 liter air digunakan untuk menyemprotkan air ke udara pada pukul 08.00-11.00 WIB dan 13.00-16.00 WIB, sebagai upaya untuk mengurangi polusi udara di Jakarta.
Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, berpendapat bahwa masalah terkait polusi udara di Jakarta dan sekitarnya merupakan perkara kompleks yang tidak bisa diselesaikan apabila dalam regulasi yang mengatur juga tidak mendukung upaya tersebut. Solusi pengurangan emisi harus direncanakan secara matang.

Baca Juga


“Solusi pengurangan emisi itu perlu perencanaan yang matang dan bersifat jangka panjang, hal ini perlu diupayakan melalui regulasi pemerintah yang tepat," ujar Daymas dalam keterangan di Jakarta, Senin (11/9/2023).

Regulasi yang tidak tepat, menurut dia, pada akhirnya malah akan memperburuk kualitas udara dan tidak akan menyelesaikan akar permasalahannya.

"Salah satu contohnya, di dalam Permen LHK Nomor 11 Tahun 2021 tentang Baku Mutu Emisi Pembakaran Dalam, terdapat kenaikan baku mutu kandungan nitrogen oksida (NOx) yang diperbolehkan mencapai 4,3 kali lipat lebih banyak, dan juga partikulat (PM) yang diperbolehkan mencapai 2 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Permen LHK Nomor 15 Tahun 2019 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan kapasitas di bawah 3.000 KW,” kata Daymas.

Kenaikan baku mutu tersebut disebabkan oleh dinaikkannya parameter koreksi dengan oksigen (O2) dari 5 persen menjadi 15 persen. Hal ini juga bertentangan dengan komitmen pemerintah terkait target pengurangan emisi yang tertuang pada dokumen Enhanced NDC, sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,2 persen dengan bantuan internasional hingga 2030 mendatang.

“Pemerintah perlu melihat semua sektor penyumbang polusi, selain transportasi dan PLTU, juga ada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)/genset yang turut menyumbangkan emisi berupa NOx dan PM. Ada banyak PLTD/genset di bawah 3.000 KW yang tersebar di sekitar Jakarta yang dipakai oleh kantor, pusat perbelanjaan dan juga pabrik-pabrik industri, bayangkan berapa potensi kenaikan jumlah emisi yang bertambah akibat Permen tersebut,” Daymas menambahkan.

Dengan perkiraan total kapasitas 100 MW saja, apabila dikonversikan dengan perbandingan standard Euro 4 mobil ekuivalen yang menghasilkan 0,08 gr per km dan rata-rata menghasilkan 2,4 gr jam maka itu setara dengan emisi 1,2 juta unit mobil, suatu jumlah yang sangat signifikan, kata Daymas.

Oleh karena itu, menurut Daymas, Permen LHK Nomor 11 Tahun 2021 harus direvisi kembali karena bertentangan dengan cita-cita dalam mewujudkan pengurangan emisi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler