Tak Ada Lagi Kebebasan di Tanah Palestina Setelah Perjanjian Oslo
Dibawah Perjanjian Oslo, secara resmi Palestina mengakui Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Setelah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menandatangani Perjanjian Oslo 30 tahun lalu, secara resmi Palestina mengakui Israel. Rakyat Palestina tampaknya semakin tidak bisa lagi menjadi negara merdeka dan pendudukan atas tanah mereka tampak semakin mengakar.
Warga Palestina yang berusia di bawah 30 tahun hanya hidup di bawah perjanjian yang ditengahi Amerika Serikat (AS) yang memberi otoritas sementara dan berpemerintahan sendiri Otoritas Palestina (PA). Namun pemerintah sementara tersebut gagal mengatasi kekhawatiran besar mengenai wilayah, pemukiman ilegal Yahudi, status Yerusalem, serta pengungsi Palestina, dan hak untuk kembali.
Sudut pandang warga Palestina pun seragam dalam memandang perjanjian yang dilakukan pemimpin Palestina Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, diawasi oleh Presiden AS Bill Clinton. Ola Anebtawi warga Nablus memandang topik Perjanjian Oslo selalu muncul karena sifatnya yang kontroversial.
"Saya selalu merasa tersesat dan tidak mengerti bagaimana membentuk opini saya sendiri," ujar perempuan berusia 32 tahun itu dikutip dari //Aljazirah//.
Tapi, seiring berjalannya waktu, Anebtawi menyadari bahwa hal ini merupakan kemunduran besar bagi negara dan kepemimpinan Palestina. "Ketika, sebagai warga Palestina, Anda menyadari penyebabnya, Anda mulai berpikir, 'Bagaimana saya bisa berperan dalam kapasitas apa pun dalam melawan pendudukan?'" ujarnya.
Anebtawi menilai Perjanjian Oslo justru menghalangi warga Palestina mencapai misi sebagai umat. Hal itu juga gagal mempersatukan dan gagal mengembalikan seluruh tanah yang dirampas, serta memfasilitasi kembalinya para pengungsi.
Sebuah kesalahan besar mengakui Israel sebagai negara dengan perbatasan yang jelas. Tindakan itu pun akhirnya berdampak pada kehidupan warga Palestina secara ekonomi dan sosial, hingga membatasi kebebasan bergerak karena adanya pemukiman ilegal.
"Ini sungguh menyakitkan. Ketika Anda tidak memiliki kebebasan, Anda tidak punya apa-apa. Mereka merampas hal ini dari kita," ujar Anebtawi.
Penilaian serupa pun muncul di pikiran Bahaa yang tinggal di Yerusalem Timur. Dia melihat Perjanjian Oslo merupakan bencana besar.
Perjanjian ini membagi wilayah Palestina menjadi tiga bagian: A, B, dan C, dan memberikan kekuasaan dan legitimasi kepada pendudukan untuk mengatur dan mengelola wilayah tersebut. Hal ini membuat perekonomian Palestina dan Israel saling terkait, sehingga membuat warganya bergantung padanya untuk bertahan hidup.
"Perjanjian tersebut juga berdampak besar pada generasi muda di Yerusalem karena pada dasarnya perjanjian tersebut memberi Israel kendali penuh atas bagian timur kota tersebut," ujar sosok berusia 26 tahun ini.
Sedangkan Tasami Ramadan memandang Perjanjian Oslo sebagai harapan dan kekecewaan. Pada awalnya, perjanjian tersebut merupakan kesempatan bagi Palestina untuk mendirikan negara merdeka dan membebaskan diri dari pendudukan. Namun kenyataan di lapangan mengubah harapan tersebut menjadi kekecewaan.
"Keadaan yang dijanjikan kepada kita tidak pernah terlaksana. Faktanya, seluruh janji yang ada dalam perjanjian tidak pernah terealisasi. Itu adalah perjanjian yang tidak adil dan tidak adil," ujar perempuan berusia 25 tahun itu.
Menurut penduduk wilayah pendudukan Tepi Barat ini, jika perjanjian itu tidak pernah ada, justru akan ada rasa persatuan Palestina yang lebih kuat. Oslo sangat membantu memunculkan perpecahan di antara faksi-faksi Palestina.
"Dampak dari pertikaian internal ini berdampak besar pada persatuan Palestina dan kita menderita akibat dampaknya hingga hari ini," kata Ramadan.
Kesepakatan-kesepakatan, menurut Ramadan, telah mengurangi pentingnya perlawanan dan memaksa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kekuatan perlawanan. "Jika bukan karena perjanjian ini, saya pikir kita akan memiliki kelompok perlawanan yang lebih kuat dan terorganisir, dan gagasan perlawanan akan menjadi faktor pemersatu yang utama," ujarnya.
Perjanjian tersebut juga menutup pintu bagi upaya lain yang dapat membantu mengakhiri pendudukan. "Pada dasarnya tertulis: 'Kami menandatangani perjanjian ini, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan,'" ujarnya.