Rais Aam PBNU Sebut Ada yang Lupa Kalau NU Jaga Jarak dengan Politik, Sindir Siapa?
Kiai Miftach menyebut kalau mereka sedang mengalami masalah baru datang ke NU.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Miftachul Akhyar mengingatkan kembali hasil keputusan Muktamar ke-31 yang digelar di Solo pada 2004 silam. Dalam Muktamar ke-31 itu menegaskan bahwa NU menjaga jarak dengan politik.
“Kita sudah tahu bahkan pernah diputuskan dalam muktamar di Solo, Muktamar ke-31 kalau ndak salah, bahwa bagaimana Nahdlatul Ulama menjaga jarak dengan partai politik, semua partai politik,” ujar Kiai Miftach saat menyampaikan Khutbah Iftitah di acara pembukaan Munas dan Konbes NU di Pondok Pesantren Al-Hamid, Cipayung, Jakarta Timur, Senin (18/9/2023).
Namun, menurut Kiai Miftach, sekarang ada yang pura-pura lupa dengan keputusan muktamar yang digelar di Surakarta tersebut. “Sepertinya ini ada yang lupa kalau Nahdlatul Ulama menjaga jarak, ya ibaratnya kura-kura di dalam perahu, pura-pura tidak tahu,” ucap pengasuh Pondok Pesantren Miftachus Sunnah Surabaya ini.
Oleh karena itu, menurut dia, Munas NU kali ini akan banyak membahas masalah-masalah yang ada, seperti merivisi Peraturan Perkumpulan (Perkum) NU atau menambahkan perkumnya. “Yang semua itu tiada lain untuk bagaimana kita menghadapi masa depan,” kata Kiai Miftach.
Di masa depan, menurut dia, Indonesia akan menghadapi bonus demografi, dan kemudian akan ada generasi emas. Karena itu, menurut Kiai Miftach, NU harus siap menyongsong sebuah peristiwa yang besar tersebut.
Lebih lanjut, dia pun menjelaskan tentang kalimat yang sangat populer di lingkungan NU, yaitu NU ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana. Menurut Kiai Miftach, kalimat tersebut bermakna bahwa seorang Nahdliyin sudah mantap atas prinsip, keyakinan, dan akidahnya tetapi mampu berperan penting di mana-mana.
“Warganya ada di mana-mana dan tidak kemana-mana yang tujuannya sebetulnya dia maton, mantap, akidah, keyakinannya, prinsipnya tidak ke mana-mana, tapi dia di mana-mana ,” tegas Kiai Miftach.
Namun, menurut dia, banyak orang yang sudah tidak memahami kalimat tersebut. Karena, pada kenyatannya, sebagian nahdliyin yang justru membawa kekayaan NU ke mana-mana. “Tapi kenyataan dia di mana-mana dengan seluruh apa yang ia miliki, bahkan semua perabot-perabot kekayaan Nahdlatul Ulama dibawa ke mana-mana,” ucap Kiai Miftach.
“Dan anehnya dia tidak akan pernah pulang ke rumahnya karena di sana ada sesuatu yang nyaman, ada sesuatu yang menenangkan menurut mereka, kecuali kalau mereka sedang mengalami masalah dia baru datang ke rumah,” katanya.
Dia pun menegaskan bahwa bukan seperti itu yang diinginkan para pendiri NU. Menurut dia, maksud dari kalimat 'NU ada di mana-mana dan tidak ke mana-mana' adalah untuk menguji nyali, bukan justru larut di tempat baru.
“Tidak seperti itu keinginan para muasis, tidak seperti itu yang dia maksudkan dengan Nahdlatul Ulama ada di mana-mana tidak kemana-mana, tapi untuk ujian nyali, silakan Anda ke mana-mana tapi untuk menguji nyali Anda bukan larut di sana, bukan malah melebihi partai daripada Anda yang masuk ke partai itu,” jelas Kiai Miftach.
“Kita sudah dandan-dandan demikian, begitu ada di sana berubah 180 derajat. Yang dulu halal malah halal lagi, yang haram menjadi halal, nggak ada yang haram, halal semua,” ujarnya menambahkan.