Lika Liku Normalisasi Israel dan Arab Saudi
Selama berbulan-bulan, Arab Saudi dan Israel telah membahas upaya normalisasi
REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Selama berbulan-bulan, Arab Saudi dan Israel telah membahas kesepakatan untuk menormalisasi hubungan diplomatik yang ditengahi Amerika Serikat (AS). Normalisasi ini menjadi prioritas utama dalam kebijakan luar negeri AS.
Upaya normalisasi ini berlangsung di tengah penyesuaian regional, setelah Iran dan Arab Saudi memulihkan hubungan diplomatik. Pada Rabu (20/9/2023) Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman (MBS) mengatakan kepada saluran Fox News bahwa kesepakatan normalisasi dengan Israel kian dekat.
Apa syarat yang diajukan Arab Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel?
Saudi menginginkan pakta pertahanan AS, termasuk pembatasan yang lebih sedikit terhadap penjualan senjata AS dan bantuan dalam mengembangkan program nuklir sipil. Saudi juga mengatakan, kesepakatan apa pun akan membutuhkan kemajuan besar menuju pembentukan negara Palestina. Konsesi ini menjadi hal yang sulit dilakukan oleh pemerintah nasionalis dan sayap kanan Israel.
Arab Saudi telah menjadi pendukung besar Inisiatif Perdamaian Arab pada 2002, yang mengkondisikan normalisasi hubungan dengan Israel terkait penarikan diri mereka dari wilayah Palestina dan Dataran Tinggi Golan di Suriah Inisiatif ini mencakup pembentukan negara Palestina serta menemukan solusi yang adil terhadap penderitaan jutaan pengungsi Palestina dan keturunan mereka, yang sebagian besar tinggal di kamp-kamp pengungsi di negara-negara tetangga.
Bagaimana tanggapan Israel soal persyaratan Saudi?
Pada Kamis (21/9/2023), Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen menyampaikan nada optimis. Dia mengharapkan kesepakatan akan segera tercapai.
“Kesenjangan ini dapat dijembatani. Saya pikir pasti ada kemungkinan bahwa, pada kuartal pertama 2024, empat atau lima bulan lagi, kita akan dapat mencapai titik di mana rincian (kesepakatan) diselesaikan,” kata Cohen kepada Radio Angkatan Darat Israel.
Keinginan Arab Saudi untuk membangun program nuklir nampaknya tidak menjadi kendala. Penasihat keamanan nasional Israel, Tzachi Hanegbi mengatakan, puluhan negara menjalankan proyek dengan inti nuklir sipil dan upaya nuklir untuk energi.
"Ini bukan sesuatu yang membahayakan mereka atau tetangga mereka," ujar Hanegbi.
Namun, pemerintahan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, termasuk Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben-Gvir, telah menolak konsesi kepada pemerintah Otoritas Palestina (PA) sebagai bagian dari normalisasi hubungan. Mereka juga menolak pembekuan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan Tepi Barat.
Bagaimana reaksi Otoritas Palestina?
Bagaimana reaksi Otoritas Palestina?
Dalam upaya untuk memenangkan hati Otoritas Palestina (PA), Arab Saudi telah menawarkan untuk melanjutkan dukungan keuangan kepada PA setelah bantuan turun menjadi nol pada 2021. Menurut laporan The Wall Street Journal, pada Agustus delegasi pejabat Otoritas Palestina pergi ke Riyadh untuk mengajukan persyaratan mereka sendiri sebagai imbalan atas persetujuan Arab Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel.
Persyaratan tersebut termasuk pembukaan kembali konsulat AS di Yerusalem Timur, yang ditutup oleh mantan presiden AS Donald Trump pada tahun 2019. PA juga meminta AS untuk mendukung perwakilan penuh Palestina di PBB. Syarat lainnya adalah Israel memberi Otoritas Palestina kendali lebih besar atas beberapa bagian Tepi Barat yang diduduki dan menyingkirkan pos-pos ilegal Israel.
Hal ini jauh berbeda dengan reaksi Otoritas Palestina ketika Bahrain dan Uni Emirat Arab mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel pada 2020. Pada saat itu, Otoritas Palestina menuduh negara-negara Teluk melakukan penikaman dari belakang.
Bagaimana tanggapan Iran?
Presiden Iran, Ebrahim Raisi telah memperingatkan Arab Saudi agar tidak membuat kesepakatan apa pun dengan Israel. Pada konferensi pers di sela-sela Majelis Umum PBB di New York, Raisi mengatakan kepada Sky News bahwa kesepakatan seperti itu akan menjadi tikaman dari belakang terhadap rakyat Palestina dan perlawanan mereka.
“Dalam keadaan apa pun negara-negara kawasan tidak ingin negara-negara Islam meninggalkan prinsip suci penderitaan rakyat Palestina karena pembebasan kota suci Yerusalem adalah inti dari keyakinan seluruh umat Islam,” kata Raisi.