Didi Suhaeri Budiman, Pemilik Asli Lahan Jatikarya dan Penerima Konsinyasi Rp 218 Miliar
Lahan Didi seluas 51 hektare sempat diklaim Kemenhan, Mabes TNI, dan ahli waris lain.
REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Uang kosinyasi pembangunan lahan Jatikarya yang kini dibangun menjadi Tol Cimanggis-Cibitung (Cimaci) sebesar Rp 218.893.207.401 yang tertulis di dalam penetapan Reg.No: 04/Pdt.P/cons/2016 belum diberikan kepada yang berhak menerimanya oleh Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi.
Berdasarkan penelusuran Republika.co.id, dari dokumen risalah riwayat kepemilikan dan asal usul riwayat tanah, yang berhak menerima uang ganti rugi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tersebut adalah H Didi Suhaeri Budiman (71 tahun), selaku ahli waris H Tomy bin H Jayadi.
Hal itu karena tanah yang digunakan Tol Cimanggis-Cibitung milik ayahnya, yaitu H Tomy bin H Jayadi. Keterangan riwayat tanah dan persengketaan yang terjadi di atas tanah tersebut sudah diberikan Didi kepada PN Kota Bekasi saat sidang kosinyasi.
Sidang tersebut dihadiri Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. Didi dalam sidang membawa dokumen sesuai fatwa waris nomor: 105/P3HP/1994/PAJT tanggal 14 Juni 1994.
"Saya berikan dokumen risalah ini untuk menjelaskan kepada semua pihak bawah tanah tersebut milik ayah saya, dan saya sebagai ahli waris tunggal. Bukan milik siapa pun termasuk Dephan sekarang Kemenhan," kata Didi Suhaeri saat memberikan dokumen kepemilikan lahan di rumahnya kawasan Nagrak, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (22/9/2023).
Sehingga, kata Didi, ketika PN Kota Bekasi melalui PN Cianjur menawarkan uang ganti rugi dari proyek jalan Tol Cimaci, ia pun menolaknya. Alasannya, karena ada 13 pihak lainnya yang dijadikan termohon dalam putusan konsinyasi tersebut.
Mereka adalah Kemenhan, almarhum Nyai Dewi binti Botak cs, Ino binti Minan dan Djaiun kelompok Candu bin Gondo dan Gunun cs, Hasan Karno, Suharjono, Ali Asegaf, Nursen, almarhum Adang bin Syarif, Gandi Syamsudin, Heru Marsongko, dan Laisan bin Kentun (kelompok H Sama Cs).
Kemudian, ada H Teddy Sudiro ahli waris Herman Saren Sudiro, PT Usama Rahayu, PT Fajar Propertindo Utama, PT Sarana Nusantara Raya, PT Surya Nusantara Lestari. Dia menegaskan, lahan puluhan hektare yang dijadikan tol merupakan miliknya selaku ahli waris, bukan atas nama orang lain.
"Saya menolak karena mereka bukan pemilik atas tanah tersebut. Sebagaimana saya jelaskan dalam berita acara nomor 01/Pdt.P.Cons/2017/PN/Cjr.del.jo.No 04/Pdt.p.con/2016/PN.Bks, tanggal 14 Februari 2017," kata Didi.
Alasan tersebut disampaikannya berdasarkan riwayat tanah dan skema awal munculnya persengketaan tanah seluas 51 hektare di Kelurahan Jatikarya, Kota Bekasi. Dari total 51 hektare, lahan yang digunakan untuk jalan tol seluas 4,2 hektare.
Lahan Didi masih tersisa 46 hektare lebih di Jatikarya, Kota Bekasi. Nilai ganti rugi Rp 218 miliar itulah untuk penggunaan lahan 4,2 hektare. Karena uang konsinyasi yang besar, sehingga muncul banyak pihak yang mengaku-aku sebagai ahli waris demi mendapatkan uang ganti rugi.
Menurut Didi, tanah tersebut awalnya milik NV Cultur MIJ Populair Tanjung Oost dengan Nomor Eigendom Verponding 5658 yang luasnya 2.400 hektare pada era Belanda. Hal itu diperkuat berdasarkan surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) dari BPN Jakarta Timur (Jaktim) Nomor 05/T/SKPT/2002 tanggal 21 Februari 2002.
Namun, tanah tersebut terkena penertiban agraria berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1958 berdasarkan SK Menteri Agraria Nomor: SK 219/KA tanggal 12 Agustus 1958. Surat pelimpahan Eigendom Verponding 5658 dari Presiden Sukarno kepada pimpinan Pengerahan Tenaga Kesatuan Malaya Merdeka (Kemam) Abdullah Hanan Sofyan pada 10 November 1959 yang pengurusan hak tanah berdasarkan Eigendom Verponding tersebut diserahkan kepada wakilnya Abdullah Hanan Sofyan, yang bernama Habib Bulloh.
"Kemudian Habib Bulloh berdasarkan wewenangnya, melakukan jual beli tanah tersebut kepada ibu angkat saya, Gusnidar. Gusnidar ini ajudan khusus Ibu Tien Soeharto," kata Didi.
Menurut Didi, jual beli dan kuasa pengurusan tersebut tertuang secara rinci di dalam akta notaris Nomor 58 Tanggal 24 April 1995 Notaris Chufron Kamal SH, dan berdasarkan penetapan PN Jakarta Pusat Nomor: 160/Pdt/P/1995/PN.JKT.Pst tanggal 2 Mei 1995 dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) Nomor: 05/T/SKPT/2002 tanggal 21 Februari 2002 dari BPN Jaktim.
115 surat girik...
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi melalui Subdit Agraria pada 1973 menerbitkan 115 surat girik untuk tanah seluas 51 hektare di dalam hamparan tanah Eigendom Verponding Nomor 5658 seluas 2.400 hektare yang telah dibeli Gusnidar.
Gusnidar sebagai orang tua angkat Didi, lalu menugaskan untuk mengurus hak tanah tersebut, dan khusus mengurus tanah yang sudah diterbitkan sertifikat nomor satu atas nama Departemen Hankam di Desa Jatisampurna. Lokasi tersebut sekarang bernama Jatikarya.
"Saya diberi surat tugas oleh ibu angkat pada tanggal 12 September 2005 untuk mengurus hak kepemilikan sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT)," kata Didi menjelaskan.
Dia menambahkan, pada 13 Mei 1973, sebanyak 115 surat girik tersebut dibeli oleh Rifai AS secara pribadi, tidak menggunakan jabatanya. Pada tahun itu, Rifai AS menjabat sebagai Dandema Mabes ABRI dengan pangkat letnan kolonel dari matra Angkatan Darat (AD).
"Rifai AS membeli tanah tersebut atas nama pribadi," kata Didi sambil menunjukan bukti-bukti fakta yuridisnya tentang jual beli tanah tersebut kepada Republika.co.id.
Selanjutnya pada 1974, kata Didi, Rifai AS menjual tanah tersebut kepada H Tomy bin H Jayadi. H Tomy merupakan orang tua Didi. Dengan menyerahkan surat asli terkait tanah tersebut yang dibeli senilai Rp 11,5 juta.
Adapun suratnya mencakup, 115 lembar girik asli, peta rincik tanah, surat keterangan sementara pengganti KTP atas nama para pemilik girik, surat keterangan tidak sengketa, kuitansi pembayaran dari Rifai AS kepada para pemilik girik, akta pengikatan dan akta jual beli oleh notaris Kamariah Suparwo SH.
Ada pula Surat Pernyataan Kesepakatan Jual Beli tanggal 21 Juli 1974 antara Rifai AS dan H Tomy. Kemudian pada 25 Juli 1974, H Tomy kembali memberikan kuitansi pembayaran sebesar Rp 23,5 juta kepada Rifai AS. Serta, kuitansi pembayaran Rp 10 juta akhir pelunasan pada 21 Agustus 1978 juga diberikan kepada Rifai AS.
"Ketika itu setelah selesai pembebasan dari masyarakat, tanah itu dipagar kawat berduri di sekelilingnya dan dijaga oleh anak buah Rifai sebanyak sembilan orang yang pada 24 April 1994, nama-nama itu saya catat," kata Didi.
"Di antanya Djadjang Triyatna golongan 2C, Agus Fahriyana golongan 2C, Heru S golongan 2C, Sutikno golongan 2C, Mahir golongan 1D, Suratmi golongan 2C, Serma Khusnan dari Angkat Laut dan Kapten Mulyadi seorang anggota polisi," kata Didi menambahkan.
Selain mencatat semua nama, Didi juga menjelaskan kepada mereka tanah itu milik H Tomy, bukan milik Dephan yang sekarang menjadi Kemenhan. Bukan pula milik Mabes ABRI yang sekarang menjadi Mabes TNI. Sembilan orang itu tinggal di rumah sederhana tipe 35 di atas tanah milik H Tomy.
"Ada satu tower dengan bangunan, satu pos penjaga dan pada waktu itu digunakan untuk berkebun. Sembilan orang itu menyatakan tidak mengerti siapa pemilik tanah itu," kata Didi menirukan orang yang menjaga tanah itu.
Setelah itu, Didi mengurus penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tahun 1994 dan surat keterangan tidak sengketa atas tanah tersebut dengan nomor 171/KT/VI/94 tanggal 25 Juli 1994 dari kantor Desa Jatikarya. Ketika itu, kepala desa dijabat oleh H Agus Nosaris.
Surat keterangan tidak sengketa atas tanah tersebut sebanyak enam lembar dengan nomor berurutan dari nomor 171 sampai dengan 176. Sementara enam lembar SPPT untuk tanah seluas 51 hektare tersebut dan SPPT atasnama H Didi SB bin H Tomy dengan nomor SPPT sebagai berikut: 1.007-0006/904-01 luas tanah 222.904 meter persegi (m2).
Kemudian, 007-0001/94-01 luas tanah 105.483 m2, 007-0002/94-01 luas tanah 76.572 m2, 007-0004/94-01 luas tanah 46.246 m2, 5.007-0005/94-01 luas tanah 301.349 m2, serta 007-0003/94-01 luas tanah 50.304 m2.
Bertemu Jenderal Edi Sudrajat...
Setelah berhasil mendapatkan SPPT dan Surat Tidak Sengketa (STK), Didi langsung menemui Menteri Pertahanan (Menhan) kala itu Jenderal Edi Sudrajat untuk meminta rekomendasi atas tanah itu supaya bisa dijual. Surat rekomendasi itu menjadi syarat yang diminta oleh calon pembeli.
Pasalnya, calon pembeli tahu lahan tersebut sempat diklaim oleh Dephan, jika berpatokan pada Sertifikat Hak Pakai Nomor 1 Tahun 1992. Sementara fisik tanah tersebut dikuasai Mabes ABRI.
"Setelah saya menghadap Jenderal Edi Sudrajat saya diarahkan untuk menghadap kepada Direktur Jenderal Material Fasilitas Jasa Hankam RI yang pada waktu itu dijabat oleh Brigjen Imade Sadar dan mendapatkan jawaban tertulis menyatakan bahwa tanah tersebut sudah dibeli oleh Dephan dan tanah tersebut sudah bersertifikat," kata Didi.
"Untuk mendapatkan penjelasan secara kornologis tentang tanah yang saudara tanyakan, saya akan undang saudara bertemu dengan tim Mabes ABRI/Dephankam," kata H Didi menirukan perkataan Brigjen Imade kepada Republika.co.id.
Kurang lebih tiga pekan setelah bertemu Brigjen Imade, Didi dihubungi Kapten Jatmiko untuk menghadiri rapat di Dephan yang dipimpin oleh Brigjen Simbolon. Dari kesimpulan rapat tersebut, Didi disarankan untuk menempuh upaya hukum. Hal itu karena Dephan tetap yakin tanah itu milik mereka, bukan milik Didi.
Akhirnya setelah selesai mengikuti rapat, Didi mengajukan permohonan pembatalan dan pemblokiran sertifkat Nomor 1 Hak Pakai Tahun 1992 atas nama Ditjen Matpasjasa Hankam kepada BPN Bekasi. Karena memiliki bukti kuat, ia pun memenangkan gugatan di pengadilan.
"Dan alhmadulillah setelah diperiksa surat-surat asli bukti kepemilikan tanah tersebut, permohonan saya diteriman dan sertifikat Hak Pakai Hankam dinyatakan diblokir sesui surat 26 Desember 1994 dan bukti pemblokiran dari BPN Bekasi saya serahkan kepada Dephan, Mabes ABRI, lurah, dan camat pada tanggal 1 Februari tahun 1995 dan kepada camat,” katanya.
Selesai upaya permohonan pemblokiran yang dikabulkan BPN Bekasi atas sertifikat hak pakai Nomor 1 Tahun 1992 atas nama Hankam, pada 22 Agustus 1994, Didi menyebut, ia dipanggil oleh Kepala Staf Garnisun 1/Jakarta Brigjen M Yusuf Kartanegara. Yusuf yang merupakan eks Wantimpres era Jokowi ingin memeriksa surat asli Didi sebagai bukti kepemilikan atas tanah tersebut.
"Setelah selesai diperiksa saya mendapat saran petunjuk agar menghadap kepada Kasum TNI yang pada waktu itu dijabat oleh Letnan Jenderal HBL Mantiri. HBL Mantiri menyetujui tanah itu dijual oleh saya," kata Didi.
"Beliau bilang 'asal tentara jangan dirugikan 20 persen' dan saya disarankan koordinasi dengan Niko Syamsi sebagai Direktur PT Usama Rahayu yang mendapat surat tugas dari Korma Hankam Drs Brigjen Herman Saren Sudiro untuk membebaskan tanah dengan surat perintah Nomor 1525/XI/72/Kor tahun 1972," ucap Didi.
Setelah bertemu dengan Niko Syamsi, terjadi kesepatakan bahwa surat perintah pembebasan tanah tersebut diserahkan kepada Didi dengan kompensasi uang sebesar Rp 7 miliar. Uang sebesar itu baru bisa dibayarkan setelah tanah laku terjual. "Niko Syamsi mengatakan setuju," kata Didi.