Meski Bersekolah, Anak-Anak di Asia Pasifik tak Miliki Keterampiran Pendidikan Dasar

Learning poverty 14 negara termasuk Indonesia berada pada level di atas 50 persen.

ANTARA/Yusuf Nugroho
Sejumlah siswa menunjukkan telur bebek saat kegiatan Gerakan Gemar Makan Telur di Jepara, Jawa Tengah, Selasa (30/8/2022).
Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan Bank Dunia menyebut, anak-anak di beberapa negara Asia Timur dan Pasifik tak memiliki kemampuan pendidikan dasar meski mereka menempuh sekolah dasar.

Baca Juga


Setiap tahunnya, sekitar 172 juta anak di 22 negara-negara berpenghasilan menengah di Asia Timur dan Pasifik terdaftar di sekolah dasar. Hanya saja, meski terjadi kemajuan yang signifikan pada angka partisipasi sekolah, anak-anak di beberapa negara dan di sebagian negara-negara tidak mendapatkan keterampilan pendidikan dasar, sebagaimana yang dilaporkan dalam laporan Bank Dunia.

Di semua negara yang tercakup dalam laporan Fixing the Foundation: Teachers and Basic Education in East Asia and Pacific yang dipublikasikan Bank Dunia, kualitas pendidikan masih tergolong rendah di daerah pedesaan dan daerah miskin, dibandingkan dengan daerah perkotaan dan daerah yang lebih kaya.

Menurut laporan tersebut, tingkat ketidakmampuan belajar (learning poverty), yang didefinisikan sebagai ketidakmampuan anak usia 10 tahun untuk membaca dan memahami bahan bacaan yang sesuai dengan usianya, berada di atas angka 50 persen di 14 dari 22 negara, termasuk Indonesia, Myanmar, Kamboja, Filipina, dan Republik Demokratik Rakyat Laos.

Sedangkan di Malaysia yang berpenghasilan menengah-atas, learning poverty mencapai di atas 40 persen. Sebaliknya, persentase learning poverty di Jepang, Singapura, dan Republik Korea hanya berkisar di antara 3 hingga 4 persen.

Kegagalan membekali siswa dengan keterampilan dasar dapat menghambat kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan di tingkat yang lebih tinggi, yang nantinya dapat membantu mereka memperoleh pekerjaan dan keluar dari lingkaran kemiskinan. Karena pembelajaran bersifat kumulatif, maka banyak dari anak-anak ini tidak akan pernah dapat mengembangkan keterampilan yang lebih maju, di mana keterampilan tersebut dibutuhkan oleh industri manufaktur yang inovatif dan sektor jasa yang canggih. Adapun hal-hal ini merupakan kegiatan ekonomi yang meningkatkan produktivitas untuk mengangkat status negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi.

 

 

 

Meskipun ada beberapa faktor yang memengaruhi pembelajaran, termasuk pendapatan keluarga, kesehatan, dan akses terhadap bahan pembelajaran, namun ketika seorang anak bersekolah, guru memiliki pengaruh yang paling besar. Namun demikian, menurut data dari beberapa negara di kawasan ini, guru seringkali masih memiliki pengetahuan yang terbatas tentang mata pelajaran yang mereka ajarkan.

Di RDR Laos, hanya 8 persen guru kelas 4 SD yang mendapat nilai 80 persen atau lebih tinggi dalam penilaian matematika kelas 4 SD. Di Indonesia, hanya 8 persen guru kelas 4 SD yang mendapat nilai 80 persen atau lebih tinggi dalam evaluasi kemampuan bahasa Indonesia.

Data menunjukkan bahwa ketidakhadiran guru di kelas juga menjadi masalah di beberapa negara. Laporan ini berfokus pada guru dan bagaimana dukungan bagi guru dan kualitas pengajaran dapat diperkuat.

Melalui keterangan tulis, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Manuela V Ferro menyampaikan, untuk mempertahankan dinamisme ini dan memungkinkan anak-anak generasi sekarang untuk menikmati pekerjaan dan standar kehidupan yang lebih baik sebagai manusia dewasa yang produktif nantinya, anak-anak tersebut memerlukan akses pada pengajaran berkualitas tinggi.

"Sebuah akses yang membangun keterampilan dasar mereka untuk pembelajaran seumur hidup," ujarnya.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler