PSHK: Institusional Disaster Jika MK Kabulkan Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres
Kredibilitas MK dinilai bakal tergerus jika kabulkan gugatan syarat usia capres.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Violla Reininda menyoroti gugatan batas usia minimum capres-cawapres yang akan segera diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut dia, akan terjadi bencana institusional (institusional disaster) apabila MK mengabulkan permohonan menurunkan batas usia minimum dari 40 tahun menjadi 35 tahun itu.
"Ada potensi institusional disaster karena peraturan teknis turunannya diubah cepat. Ini akan menjadi beban KPU dan Bawaslu untuk menyesuaikan peraturan, apalagi sudah mendekati jadwal pendaftaran capres-cawapres," kata Violla dalam diskusi daring, Selasa (26/9/2023).
Jadwal pendaftaran capres-cawapres di KPU adalah 19-25 Oktober 2033. Artinya, pendaftaran akan dibuka sekitar tiga pekan lagi. Adapun MK belum diketahui kapan akan menggelar sidang pembacaan putusan, meski para hakim konstitusi dikabarkan sudah menggelar rapat permusyawaratan untuk menentukan putusan.
Violla menyebut, apabila MK mengabulkan gugatan tersebut, maka berpotensi memberikan karpet merah bagi rezim sekarang untuk terus berkuasa. Sebagai informasi, guagatan batas usia ini diyakini secara luas bertujuan untuk membuka jalan putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming yang kini berusia 35 tahun.
Dia menambahkan, apabila MK mengabulkan gugatan tersebut, maka berpotensi pula membuat kredibilitas lembaga penjaga konstitusi itu tergerus. Publik akan menilai MK tidak konsisten. Sebab, selama ini MK selalu menolak gugatan menyangkut usia dengan alasan open legal policy atau wewenang lembaga pembentuk undang-undang.
"(Mengabulkan gugatan tersebut) menjadi pertaruhan MK karena potensial sekali menjadikan MK sebagai alat untuk mengalihkan kewenangan yang seharusnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang, tapi malah dilempar ke MK," ujarnya.
Dengan segala dampak buruk yang berpotensi terjadi itu, Violla merekomendasikan agar MK menolak gugatan tersebut. Setidaknya ada dua alasan mengapa MK harus menolak permohonan tersebut.
Pertama, persoalan batas usia bukan isu konstitusional. Kedua, menghindari perubahan putusan last minute jelang gelaran Pemilu 2024 karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut dia, perubahan syarat batas usia dab syarat lainnya bagi capres-cawapres seharusnya diformulasikan dalam proses legislasi di parlemen yang dilakukan secara komprehensif dan partisipatif.
MK diketahui menggelar sidang untuk tiga perkara sekaligus yang terkait batas usia minimum capres-cawapres 40 tahun, yang diatur dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan petitum meminta batas usia minimum capres-cawapres diturunkan dari menjadi 35 tahun.
PSI merupakan partai yang mengaku tegak lurus kepada Jokowi. Perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 diajukan oleh Sekretaris Jenderal dan Ketua Umum Partai Garuda, yakni Yohanna Murtika dan Ahmad Ridha Sabhana.
Partai Garuda meminta MK menetapkan batas usia capres dan cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara. Ahmad Ridha Sabhana merupakan adik kandung Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria.
Perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 diajukan oleh sejumlah kepala daerah, yang dua di antaranya adalah Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa. Erman dan Pandu sama-sama politikus Partai Gerindra. Petitum mereka sama dengan petitum Partai Garuda.
MK rampung menggelar sidang atas tiga gugatan tersebut pada 29 Agustus 2023. Masing-masing pihak diminta menyerahkan kesimpulan paling lambat pada 6 September 2023 lalu. Kini, beredar kabar bahwa MK telah selesai melakukan rapat permusyawaratan hakim (RPH) untuk menentukan putusan.
Meski begitu, MK belum merilis jadwal sidang pembacaan putusan. Sementara persidangan bergulir, di sejumlah daerah mulai bermunculan baliho yang mempromosikan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. Baliho itu juga terpasang di Kota Solo.