Difteri Harus Dideteksi dalam Waktu 72 Jam, Risikonya Bisa Sebabkan Komplikasi Jantung
Deteksi awal difteri bisa dilakukan dengan melihat mulut menggunakan senter.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Divisi Infeksi dan Pediatik Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan dokter spesialis kesehatan anak Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr Nina Dwi Putri, SpA(K), menekankan pentingnya deteksi dini dalam waktu 72 jam apabila ada keluarga yang mengalami gejala difteri. Nina menjelaskan, deteksi dini itu diperlukan karena difteri menyebabkan risiko komplikasi jantung, ginjal, saraf, dan penyumbatan saluran pernafasan.
"Kalau ada anak-anak bapak ibu sekalian jika ada sakit tenggorokan atau susah makan, agar diperiksa mulutnya dengan senter, jika ada selaput membran putih keabu-abuan segera periksakan dirinya ke puskesmas," kata Nina saat menghadiri seminar daring bersama Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Nina menjelaskan, gejala difteri lainnya yang perlu diwaspadai adalah radang tenggorokan, bengkak kelenjar pada leher,masalah pernapasan dan saat menelan, demam hingga menggigil hingga mengalami batuk yang keras. Difteri, kata Nina, terfokus di saluran pernapasan karena penyakit itu berasal dari bakteri corynabacterium diphteriae yang menyebabkan infeksi terutama di tenggorokan.
Ia menambahkan bahwa difteri selain bisa menyebabkan gangguan pernafasan, juga bisa mengeluarkan racun atau toksin yang menyebabkan komplikasi di banyak organ yang berujung kematian.
"Yang paling banyak menyebabkan kematian karena saluran pernafasannya tersumbat oleh selaput putih keabu-abuan yang diakibatkan difteri tersebut" kata Nina.
Untuk itu, Nina berpesan agar orang bergejala difteri segera memeriksakan diri ke fasilitas medis terdekat guna memutus gejala penyakit dan dampaknya. "Masa yang agak luas perlu diperiksakan ke dokter, apabila difteri kalau kita memberikan antibiotik dan yang paling penting anti difteri bisa memutus komplikasi dan bisa menyelamatkan nyawa anak bapak ibu sekalian" imbuh Nina.
Nina menambahkan agar selalu mewaspadai apabila ada keputihan di tenggorokan untuk segera tanyakan kepada tenaga kesehatan apakah termasuk bagian dari difteri atau bukan. Karena ada beberapa penyakit lain yang juga menyebabkan warna keputihan pada mulut atau tenggorokan.
"Pada difteri ada khasnya, warnanya tidak putih bersih. Tetapi putih agak keabu-abuan karena di selaputnya biasanya ada titik-titik perdarahan karena lengket sekali di tenggorokan" kata Nina menambahkan.
Imunisasi Pentabio
Nina mengatakan bahwa penyakit difteri bisa dicegah dengan melakukan imunisasi antidifteri Pentabio. "Dalam Pentabio sudah ada imunisasi difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, dan haemophilus influenza tipe b. Dan kita memberikan imunisasi ke anak-anak di usia dua sampai empat bulan, lalu ada pengulangan di usia 18 bulan, dan pengulangan kembali di sekolah dasar kelas satu, dua, dan kelas lima" ujar Nina.
Nina berpesan agar masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan tentang penyakit difteri dengan melengkapi imunisasi. Sepanjang usia dari satu hingga 17 tahun perlu mendapatkan pengulangan imunisasi difteri secara berkala seperti di Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) ataupun dengan booster di program non-pemerintah.
Ia mengatakan bahwa saat cakupan imunisasi bagus, kasus difteri di Indonesia mengalami penurunan hingga di angka nol. Diinformasikan sebelumnya bahwa pada tahun 2019, kasus difteri menyebar di hampir semua wilayah di Indonesia sebanyak 529 kasus, dengan jumlah kematian sebanyak 23 kasus
"Kita sudah buktikan bertahun-tahun ketika cakupan imunisasi kita bagus, penyakit difteri mulai menurun, bahkan dalam setahun angka kasus difteri bisa di angka nol," tambah Nina.
Nina juga menambahkan bahwa difteri juga bisa dicegah dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).
“Jangan lupa untuk selalu mawas diri, cuci tangan, pakai masker, dan tidak bergantian alat makan dengan orang lain” kata Nina menambahkan.