Dua Pemimpin Partai Komunis Taiwan Didakwa Berkolusi dengan Cina
Taiwan akan memilih presiden dan legislator baru pada Januari 2024.
REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Jaksa di Taiwan telah mendakwa dua pemimpin Partai Komunis Rakyat Taiwan atas tuduhan mereka berkolusi dengan Cina, dalam upaya mempengaruhi pemilihan presiden dan anggota dewan legislatif pada 2024 mendatang.
Ketua Partai Komunis Rakyat Taiwan, Lin Te-wang dan Wakil Ketua Chen Chien-hsin pada Selasa (3/10/2023) dituduh melanggar Undang-Undang Anti-Infiltrasi dan Undang-Undang Pemilihan dan Penarikan Pegawai Negeri Sipil setelah menerima dana dan tunjangan lain dari Partai Komunis Cina yang berkuasa.
Taiwan akan memilih presiden dan legislator baru pada Januari 2024. Beijing diduga berusaha meningkatkan peluang para politisi yang mendukung penyatuan politik antara kedua pihak melalui media sosial dan kebebasan pers, serta mendanai kandidat yang mereka sukai.
Lin pernah menjadi anggota Partai Nasionalis yang merupakan oposisi pro-unifikasi. Lin mendirikan Partai Komunis Rakyat Taiwan pada 2017 dan telah menjalin hubungan dekat dengan Kantor Urusan Taiwan Cina, yaitu sebuah badan setingkat Kabinet yang didedikasikan untuk mewujudkan agenda unifikasi Cina.
Lin gagal dua kali dalam pencalonannya untuk mendapatkan kursi dewan pemerintah daerah. Tahun lalu, Lin melancarkan protes terhadap kunjungan Ketua House of Representatives AS saat itu, Nancy Pelosi.
Aksi protes Lim diduga didanai oleh Cina. Central News Agency (CNA) melaporkan, Lin juga diduga bekerja sebagai penasihat di Kantor Urusan Taiwan setempat di Provinsi Shandong, Cina.
Tidak ada kata-kata mengenai dakwaan yang muncul di halaman Facebook Partai Komunis Rakyat Taiwan tersebut. Panggilan ke nomor telepon partai tersebut yang terdaftar di kota selatan Taiwan mengatakan, dakwaan tersebut telah diputus.
Kantor Urusan Taiwan Cina mengutuk dakwaan tersebut. Mereka menuduh Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa melakukan tindakan yang tidak dapat dibenarkan terhadap mereka yang menganjurkan reunifikasi damai di Selat Taiwan. Kantor Urusan Taiwan Cina mengatakan, tindakan tersebut dilakukan dengan niat jahat.
"Dalam upaya mereka mencapai kemerdekaan formal Taiwan, DPP dan kekuatan separatis yang tidak dikenal telah menyalahgunakan hukum untuk menekan mereka yang menganjurkan unifikasi dengan Cina," kata juru bicara Kantor Urusan Taiwan Cina, Zhu Fenglian.
“Tindakan tercela seperti itu pasti akan dikecam keras dan ditentang keras oleh orang-orang di kedua sisi Selat,” kata Zhu.
Survei menunjukkan sebagian besar masyarakat Taiwan menolak pemerintahan di bawah sistem satu Cina, yang dipimpin secara otoriter. DPP dan Partai Nasionalis, juga dikenal sebagai KMT, mendominasi politik di Taiwan.
Sementara Partai Komunis lokal memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap pemilu dan opini publik secara umum, meskipun mereka melakukan demonstrasi yang menarik perhatian selama pemilu atau ketika ada kunjungan pejabat asing pendukung Taipei, seperti Pelosi.
Wakil Presiden Taiwan saat ini William Lai, dengan partainya, Partai Progresif Demokratik sangat mendukung mempertahankan status kemerdekaan de facto Taiwan dari Cina. Partai ini memimpin dalam sebagian besar jajak pendapat.
Sebagai bekas jajahan Jepang, Taiwan berpisah dari Cina di tengah perang saudara pada 1949. Sejak itu Taiwan berkembang menjadi negara demokrasi dan menoleransi berbagai pandangan politik. Beijing menganggap Taiwan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Cina. Beijing terus meningkatkan ancamannya untuk mencapai tujuan tersebut melalui kekuatan militer jika diperlukan.