Tidak Hanya Laut dan Atmosfer, Suhu Tanah Juga Memanas Akibat Perubahan Iklim

Namun, kenaikan suhu panas tanah belum mendapatkan perhatian serius.

ANTARA FOTO/Abriawan Abhe
Suhu panas ekstrem ternyata berkembang lebih cepat di dalam tanah karena perubahan iklim.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bumi sedang memanas, dan bukan hanya atmosfer dan lautan, namun juga tanah. Sebuah studi baru mengungkap bahwa kenaikan suhu pada tanah belum mendapat perhatian serius, padahal kondisi tanah yang semakin panas menimbulkan risiko bencana.

Baca Juga


“Suhu tanah hanya mendapat sedikit perhatian secara keseluruhan dalam studi tentang perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. Sebagian karena kompleksitas pengukuran membuat sulit untuk menemukan data yang cukup andal tentang suhu tanah dibandingkan dengan suhu udara di dekat permukaan,” kata para peneliti seperti dilansir Science Alert, Kamis (5/10/2023). 

Dalam studi yang dipublikasikan dalam Nature Climate Change, tim peneliti dari seluruh Jerman mengumpulkan data suhu tanah dari berbagai sumber, termasuk stasiun pemantauan meteorologi, satelit penginderaan jarak jauh, kumpulan analisis ulang data ERA5-Land, dan simulasi dari model sistem bumi.

Tim ini mengandalkan indeks TX7d, yang dimaksudkan untuk menangkap intensitas panas ekstrem dengan rata-rata suhu maksimum harian selama pekan terpanas per tahun.

Mereka menghitung indeks ini untuk 10 sentimeter bagian atas tanah, dan untuk udara hingga 2 meter di atas permukaan, di 118 stasiun cuaca di seluruh Eropa, dengan menggunakan data suhu dari tahun 1996 hingga 2021 untuk menyediakan 160 pasang pengukuran udara dan tanah. Pada dua pertiga dari lokasi tersebut, para peneliti menemukan tren yang lebih kuat pada suhu panas ekstrem di dalam tanah daripada di udara di atasnya.

"Ini berarti bahwa suhu panas ekstrem berkembang lebih cepat di dalam tanah daripada di udara," kata salah satu penulis studi, Almudena Garcia-Garcia, peneliti penginderaan jarak jauh di Pusat Penelitian Lingkungan Helmholtz (UFZ).

Studi ini mengungkapkan variasi regional dalam fenomena ini di seluruh Eropa, dengan suhu panas yang ekstrim menjadi lebih intens lebih cepat di Eropa Tengah, yaitu di Jerman, Italia, dan Prancis selatan. Di daerah-daerah ini, intensitas panas ekstrem meningkat 0,7 derajat Celcius per dekade lebih cepat di dalam tanah daripada di udara dekat permukaan.

Para peneliti menyelidiki frekuensi panas ekstrem di dalam tanah serta intensitasnya, dengan menggunakan indeks yang berbeda yakni TX90, yang memperhitungkan persentase hari per bulan ketika suhu maksimum harian melebihi ambang batas statistik yang diberikan.

Mereka menemukan bahwa jumlah hari dengan suhu panas ekstrem meningkat dua kali lebih cepat di dalam tanah daripada di udara.

"Sebagai contoh, jika saat ini terdapat suhu tinggi di tanah dan udara pada 10 persen hari dalam satu bulan, satu dekade kemudian, akan ada suhu tinggi di udara pada 15 persen hari dan suhu tinggi di tanah pada 20 persen hari," kata Garcia-Garcia.

Hal ini sebagian besar bermuara pada kelembaban tanah, kata peneliti, mengingat peran kuncinya dalam mempengaruhi pertukaran panas antara tanah dan udara. Kelembaban tanah pada gilirannya sangat bergantung pada tutupan lahan, yang mengisyaratkan bagaimana praktik penggunaan lahan oleh manusia dapat memperburuk keadaan.

Di hutan, misalnya, tutupan pohon membantu mengurangi hilangnya kelembaban tanah akibat penguapan, sementara akar pohon dapat menarik air dari dalam tanah. Namun, di habitat terbuka seperti padang rumput atau ladang pertanian, tanaman mungkin hanya memiliki akses ke kelembaban tanah di dekat permukaan.

Kemampuan suhu panas tanah yang lebih tinggi dari suhu panas di udara dapat berdampak besar, tidak hanya bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah, tetapi juga bagi jaring-jaring makanan yang lebih luas yang bergantung padanya.

Jika tanah lebih hangat daripada udara di atas permukaan, tanah dapat melepaskan panas ekstra ke atmosfer yang lebih rendah sehingga memperparah pemanasan atmosfer.

"Suhu tanah bertindak sebagai faktor dalam umpan balik antara kelembaban tanah dan suhu, dengan demikian dapat mengintensifkan periode panas di wilayah tertentu," kata penulis studi lainnya, Jian Peng.

"Mengingat hasil ini, studi tentang dampak panas ekstrem, yang terutama mempertimbangkan suhu udara tetapi meremehkan faktor panas ekstrem di tanah, harus dievaluasi kembali," jelas dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler