Sepotong Kisah Palestina: Desa Ini Ditindas Israel 204 Kali demi Budidaya Ganja
Warga Palestina menjadi sasaran deportasi paksa di tangan pasukan Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, NEGEV -- Al Araqib, mungkin masih terdengar asing di telinga banyak orang. Al Araqib merujuk pada sebuah nama desa yang berlokasi di wilayah utara kota Bersyeba di gurun Negev, selatan Palestina yang diduduki Israel.
Desa tersebut menjadi saksi bisu penindasan Israel terhadap warga Palestina yang berulang. Al Araqib adalah salah satu dari 45 desa Arab di Negev yang tidak diakui Israel. Bagi Israel, keberadaan Desa Al Araqib tidak sah.
Karena klaim sepihak itulah, air, listrik, transportasi dan berbagai layanan lain dilarang ada di Desa Al Araqib. Luas Desa Al Araqib lebih dari 200 ribu meter persegi.
Di dalamnya terdapat listrik, transportasi dan layanan lainnya. Desa ini dihancurkan berulang kali selama 12 tahun oleh Israel. Israel menyebut desa tersebut sebagai daerah yang tak dikenal.
Dilansir di Arabic Post, ada 22 keluarga yang terdiri dari sekitar 800 orang, yang tinggal di desa tersebut. Domba dan ternak adalah satu-satunya sumber mata pencaharian mereka. Ini karena mereka tinggal di tanah gurun yang tidak dapat mengakses semua layanan.
Penduduk desa tinggal di rumah yang terbuat dari timah, kayu dan plastik. Tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk membangun rumah dari batu bata seperti sebelumnya, karena otoritas pendudukan Israel terus-menerus menghancurkan desa tersebut.
Kisah Desa Al Araqib dan desa-desa sekitarnya dimulai pada awal tahun 1950-an. Setelah Israel menduduki wilayah Palestina pada tahun 1948, otoritasnya secara aktif mencoba untuk mengusir paksa wilayah Negev dari populasi Badui.
Tanah warga Palestina di Al Araqib disita di bawah Undang-Undang Pembebasan Tanah tahun 1953, seperti yang terjadi di desa lain. Israel mengatakan tanah di Negev, tempat tinggal penduduk asli Palestina antara 15 Mei 1948 dan 1 April 1952 adalah milik pemerintah Israel. Dampaknya, Israel menyita 247 kilometer persegi daerah itu.
Selama periode tahun 1948 sampai 1952, menurut laporan Haaretz, warga Palestina menjadi sasaran deportasi paksa di tangan pasukan Israel, yang menyebarkan ancaman, kekerasan, penyuapan, dan penipuan. Catatan sejarah ini terungkap karena menjadi bagian dari kasus hukum atas kepemilikan tanah yang diajukan oleh warga Palestina di pedalaman Al Araqib.
Di pagi hari, pada 27 Juli 2010, warga desa Al Araqib tiba-tiba terbangun karena suara buldoser Israel yang mulai merobohkan sekitar 40 rumah dan mengevakuasi sekitar 300 warganya. Israel berdalih, rumah-rumah tersebut dibangun tanpa izin. Setelah dihancurkan, penduduk desa Al Araqib membangunnya kembali.
Meski pada akhirnya, rumah yang dibangun kembali itu dihancurkan lagi oleh Israel. Total, penghancuran terhadap Desa Al Araqib terjadi sampai 204 kali. Penghancuran terakhir pada 19 Juli 2022.
Penduduk asli setempat bersikeras mempertahankan tanah dengan cara yang legendaris. Sekalipun ada serangan dari otoritas pendudukan Israel dan pemukim ekstremis Israel. Mereka meyakini Israel berniat membangun proyeknya sendiri di atas reruntuhan desa, sehingga akan melenyapkan budaya, warisan, dan identitas penduduk asli.
Bagi penduduk desa Al-Araqib dan desa-desa sekitarnya, hukum Israel tidak mengakui klaim penduduk asli atas tanah atau rumah-rumah. Penduduk desa tersebut lebih suka mendirikan tenda sementara dan karavan sebagai tempat tinggal, daripada solusi Israel yang akan memaksa mereka keluar dari tanah bersejarah mereka.
Pertanyaan kemudian, apa yang diinginkan Israel dari Negev? Dalam beberapa tahun terakhir, tentara Israel telah memindahkan pangkalannya ke Negev untuk memperluas militer dan industrinya. Juga sebagai cara untuk meningkatkan jumlah penduduk Yahudi dengan mengorbankan penduduk Arab yang masih bertahan di tanahnya.
Selain itu, pemerintah Israel juga telah menginvestasikan sumber daya yang sangat besar di kota Bersyeba, kota terbesar di selatan, untuk mengubahnya menjadi pusat teknologi, kewirausahaan dan industri maju.
Lokasi Budidaya Ganja...
Negev yang diduduki telah menjadi rumah bagi banyak proyek Israel, termasuk ladang surya, pembangkit listrik, rumah kaca, dan industri lainnya. Pemerintah Israel telah menyampaikan keinginannya untuk mendukung budidaya tanaman ganja medis, manufaktur, dan pertahanan elektronik di wilayah tersebut.
Salah satu pemain kunci dalam proses "membangun kembali Negev" itu adalah Dana Nasional Yahudi (JNF). JNF merupakan organisasi yang berbasis di AS dan Yerusalem yang diduduki. JNF diberikan kekuasaan pemerintah khusus oleh pemerintah Israel untuk membeli dan mengembangkan tanah bagi pemukiman Yahudi.
JNF mengawasi banyak proyek di seluruh wilayah, dan sering membuka lahan yang luas untuk membangun hutan. Beberapa komunitas penduduk asli Palestina yang ada di area yang telah ditentukan oleh Israel, pun kena penggusuran akibat proyek tersebut.
Menurut situs web JNF, yang menyajikan rencana Negev, Israel berencana menampung 500 ribu orang Yahudi di daerah tersebut. "Gurun Negev mewakili 60 persen wilayah Israel, tetapi hanya dihuni oleh 8 persen populasi negara. Dalam jumlah yang tidak seimbang ini, kami melihat peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk pengembangan wilayah tersebut," demikian pernyataan JNF.
JNF memang berencana merangkul komunitas penduduk asli daerah itu. Namun, hanya akan bermitra dengan daerah badui yang diakui. Artinya, Israel tidak akan bermitra dengan penduduk badui yang menolak layanan dasar, karena, ini berarti menolak tunduk pada Israel dan menolak meninggalkan tanahnya.