Kisah Mata-Mata Israel di Palestina Nyamar Jadi Pendakwah Hafal Alquran
Israel menggunakan berbagai cara biadab menghabisi Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kisah tentang Palestina dan Israel memakan waktu yang panjang untuk dikuliti. Ada begitu banyak kisah yang membungkus gejolak di antara keduanya hingga hari ini.
Salah satu kisah awal yang mungkin bisa terpendam jika tidak ada buku yang merekam jejak sejarahnya adalah tentang Israel yang mengirim mata-mata ke Palestina dengan menyamar sebagai dai atau pendakwah Islam.
Pada 1946 di Kota Yerusalem, ada seorang "Syekh" yang memimpin sholat di Masjid Al Aqsha. Kala itu orang-orang Muslim Yerusalem berkumpul di sekelilingnya dan menyampaikan pertanyaan seputar agama Islam. Si "Syekh" itu kemudian akan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan memberikan nasihatnya tentang urusan hidup mereka sesuai dengan ajaran Islam.
Orang yang dimaksud dikenal dengan nama Syekh Fadel Abdullah. Buku 'Jawaasiis wa Khowanah' karya penulis Mesir Ibrahim Al Arabi, yang terbit pada tahun 1991, menyebut orang itu sebagai Syekh Fadel Abdullah Judah, seorang Yahudi Yaman yang berimigrasi ke Palestina pada 1946.
Janggutnya panjang dan berpenampilkan shaleh. Dia tidak segan-segan mengorganisir kelompok keagamaan dan menyampaikan khutbah kepada umat Islam di sana pada tahap sejarah yang penting dan konfrontasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan kelompok-kelompok Yahudi yang menyebar di kota-kota Palestina.
Setiap habis sholat, Syekh Fadel Abdullah mendoakan para mujahidin di Palestina, memotivasi mereka untuk berperang dan berjihad, serta mendoakan kemenangan mereka atas musuh-musuh mereka, Yahudi dan Inggris. Namun, tabir agama yang disembunyikannya tidak bertahan lama. Pria asal Yaman ini justru menimbulkan kecurigaan tentara Mesir tentang kesetiaan dan jati dirinya yang sebenarnya.
Lihat halaman berikutnya >>>
Kisah mata-mata Israel di Palestina ini bermula dari pertengahan Abad 19. Saat itu organisasi Zionis sedang mencari imigran Yahudi yang bisa berbahasa Arab untuk menembus Palestina dan Arab.
Mata-mata Yahudi dipilih dengan sangat hati-hati dan ketat. Ada beberapa variabel yang digunakan, di antaranya ialah berasal dari Arab, pernah menghabiskan waktu panjang di negara-negara Arab, menguasai bahasa Arab, dan berbicara dengan dialek daerah tempat mereka dilahirkan.
Mata-mata ini adalah bagian dari "Unit Arab" Angkatan Bersenjata Palmach. Ini adalah kekuatan militer yang berafiliasi dengan organisasi Zionis Haganah, yang nantinya akan menjadi inti tentara Israel.
Perekrutan dan pelatihan mata-mata ini dimulai bertahun-tahun sebelum tahun Nakba. Mereka dilatih pada tahun-tahun yang lebih tenang sebelum perang. Mereka keluar masuk kota-kota Arab di sekitar Palestina dan mempelajari dialeknya.
Mereka juga mempelajari apa yang bisa dilakukan untuk menipu orang-orang, dan apa yang tidak. Mereka mengumpulkan informasi untuk badan intelijen Yahudi ketika orang-orang Yahudi bersiap untuk berperang pada tahun 1948.
Dalam buku 'Spies Without a Country: A Secret Life at The Birth of Israel', karya jurnalis Matty Friedman yang lahir di Toronto Kanada, disebutkan bahwa organisasi Zionis merekrut mata-mata untuk memantau pejuang perlawanan Arab dan pasukan Inggris di tahun-tahun terakhir Perjanjian Mandat untuk Palestina.
Lihat halaman berikutnya >>>
Menurut Friedman, mata-mata Arab ini tidak terlatih dan diawasi oleh orang-orang di pasukan Palmach. Mereka dipanggil dengan sebutan Arabist. Buku tersebut mengungkap bagaimana mata-mata ini menghafal ayat-ayat Alquran dan belajar membacanya dari radio, selain belajar wudhu dan shalat. Bahkan Syekh Fadel Abdullah hafal Alquran beserta tafsir dan ilmunya.
Friedman menjelaskan dalam bukunya, bahwa pada periode sebelum tahun 1948, seluruh atau sebagian besar imigran Yahudi berasal dari Eropa atau Eropa Timur. Sebaliknya, 9 dari 10 orang Yahudi berasal dari Eropa. Komunitas Yahudi yang berasal dari Arab adalah komunitas yang termarjinalkan, karena mereka tidak terlihat seperti Yahudi lainnya.
Para imigran Yahudi dari Arab ini berbicara bahasa Arab. Praktik agama Yahudi mereka juga berbeda dengan orang Yahudi lainnya, sehingga menempatkan mereka pada peringkat yang lebih rendah dibandingkan imigran lainnya.
"Gerakan Zionis tidak tahu apa yang harus dilakukan terhadap hal-hal tersebut, dan terkadang mereka menganggapnya sangat menarik dan aneh, tetapi sering kali diabaikan," kata Friedman dalam bukunya.
Namun, identitas Arab mereka, yang menjadi alasan perlakuan rasis terhadap mereka, juga merupakan cara mereka untuk bergabung dengan pasukan Palmach. Orang-orang yang membangun persatuan Arab di Palmach adalah orang Inggris. Sejak awal sudah ada kesadaran bahwa tidak mungkin mencopot identitas etnis Arab mereka, sehingga yang harus dilakukan hanyalah merekrut orang-orang Yahudi Arab.
Pelatihan Hafalan Alquran, Wudhu, dan Sholat
Lihat halaman berikutnya >>>
Zionis melatih imigran Yahudi dari Arab supaya bisa menghafal Alquran, ajaran dan syariat Islam. "Syekh pendakwah" Fadel Abdullah, adalah salah satu mata-mata yang dilatih menghafal Alquran, ajaran dan hukum agama Islam, sebelum ditempatkan di Palestina pada tahun 1946.
Ketika perang pecah pada tahun 1948, Fadel Abdullah merahasiakan identitasnya. Dia bahkan berdoa untuk kemenangan tentara Arab dari mimbar masjid di Khan Yunis, tempat ia pindah untuk tinggal secara permanen.
Ketika pasukan Ahmed Abdel Aziz dari tentara Mesir memasuki Khan Yunis, Fadel Abdullah meninggikan suaranya di menara, membacakan Alquran, dan menyerukan kemenangan bagi mereka serta mengucapkan Allahuakbar sampai berulang-ulang.
Kecurigaan Intelijen Mesir
Pada bulan Mei 1984, Fadel diarahkan untuk menjalin interaksi dengan pasukan Mesir. Dia mulai mendekati komandan batalion, Perwira Ahmed Abdel Aziz, dan wakilnya, Perwira Kamal El-Din Hussein, yang kemudian menjadi anggota Perwira Pembebasan.
Syekh Fadel memimpin sholat para tentara Mesir, menjawab pertanyaan mereka, dan mengunjungi kamp Mesir secara teratur. Namun, dinas intelijen Mesir memantau dengan cermat pergerakan beberapa tokoh, dan memperhatikan hilangnya Fadel Abdullah selama beberapa jam setiap hari pada tengah malam.
Orang-orang intelijen Mesir memantau pergerakannya setiap malam. Kecurigaan mereka terbukti ketika memata-matainya dan menemukannya menyelinap dari kamp gerilyawan Mesir ke kamp geng Zionis di gelap gulitanya malam.
Lihat halaman berikutnya >>>
Pada 22 Mei 1948, Dewan Keamanan PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan pihak-pihak yang berperang di Palestina untuk menghentikan permusuhan dalam waktu 36 jam. Dimulai pada malam tanggal 22-23 Mei 1948. Namun negara-negara Arab menolak gencatan senjata.
Kala itu, Dewan Keamanan PBB khususnya Inggris dan Amerika Serikat khawatir terhadap keselamatan tentara reguler dan orang-orang Yahudi yang memanfaatkan peluang tersebut. Lantas, Dewan Keamanan tersebut, tepatnya Inggris dan Amerika Serikat, menekan negara-negara Arab untuk menerima gencatan senjata.
Bahkan Inggris sampai menghentikan pengiriman amunisi dan senjata ke Yordania, Irak, dan Mesir serta menghentikan bantuan keuangan yang diberikan kepada tentara Yordania. Akhirnya pada 29 Mei 1948, Dewan Keamanan menyetujui resolusi penghentian perang untuk jangka waktu 4 pekan, terhitung sejak tanggal 7 Juni 1948.
Selama periode itu, pasukan Yahudi meminta beberapa peralatan medis dan pertolongan pertama untuk merawat seorang perwira Yahudi yang menderita luka serius di lehernya, yang biasa terjadi dalam perang gencatan senjata. Pasukan Mesir setuju dan mengirimkan salah satu dokter perwira Mesir dengan obat-obatan dan peralatan yang diperlukan.
Terbukti sebagai Mata-Mata Israel di Palestina
"Syekh" Fadel Abdullah Judah hadir di kamp Yahudi malam itu secara kebetulan. Dokter Mesir itu melihatnya, dan sama sekali mengabaikannya. Setelah itu dokter Mesir tersebut memberi tahu pimpinannya tentang apa yang telah dia lihat dan menyatakan bahwa Fadel hanyalah mata-mata Israel dan diduga sebagai agen pengkhianat.
Seusai malam itu, "Syekh" Fadel Abdullah benar-benar menghilang dan berhenti datang ke kamp tentara Mesir dan tidak lagi datang untuk memimpin sholat seperti biasanya.
Tidak berhenti di situ, seorang perwira Mesir, yang terluka karena penyamaran "Syekh" Fadel Abdullah, mengusulkan rencana penculikan "Syekh" Fadel Abdullah dengan menyusup bersama tentara lain ke kamp Yahudi lalu menangkap "Syekh" Fadel Abdullah.
Pemimpin Mesir menyetujui rencana tersebut. Dua gerilyawan tersebut berhasil menangkap Fadel Abdullah dan menyumbat mulutnya, agar dia tidak berteriak dan tidak membuat orang lain mengetahui kedatangan perwira Mesir dan anak buahnya.
Setelah operasi itu diselesaikan, pengadilan militer yang terdiri dari tiga perwira Mesir dibentuk dan hukuman mati dijatuhkan terhadap Fadel Abdullah Judah atas tuduhan spionase. Hukuman tersebut segera dilaksanakan.
Pasukan Mesir juga mempunyai pesan terakhir, yaitu perwira yang berhasil menculiknya kembali menyusup ke kamp Yahudi untuk mengembalikan Fadel Abdullah ke tempat persembunyiannya dalam kondisi sudah menjadi mayat. Ini sebagai hukuman atas pengkhianatannya.