BMKG: Suhu Bumi Kian Panas, Cepat Transisi ke Energi Hijau
BMKG menekankan apabila tidak ada perubahan, suhu bumi akan lebih panas lagi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengumumkan, suhu permukaan bumi semakin panas maka untuk mengatasinya transisi penggunaan sumber energi berbahan bakar fosil ke sumber energi hijau di dalam negeri harus segera dilakukan secara menyeluruh. Menurut Dwikorita, sejak 2000 sampai 2023 telah terjadi kenaikan rata-rata 0,3 dejarajat celcius yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (CO2) dari bahan bakar energi fosil seperti batubara dan sejenisnya.
“Krisis ini nyata bila tidak ada perubahan dalam sepuluh tahun ke depan atau kurang dari itu, suhu permukaan diprediksi bisa lebih panas lagi dengan peningkatan rata-rata mencapai 3,5 derajat celcius,” kata Dwikorita di Jakarta, Senin (16/10/2023).
Pernyataan tersebut disampaikan kepala BMKG dalam diskusi daring Forum Merdeka 9 Kementerian Komunikasi dan Informatika yang bertajuk 'Kolaborasi Global Antisipasi Krisis Air Dampak Perubahan Iklim'. Dwikorita menjelaskan, BMKG menemukan adanya kenaikan luar biasa konsentrasi CO2 di atmosfer sebagai penyebab kenaikan suhu bumi.
Tren peningkatan konsentrasi CO2 di temukan dari pengukuran pada bulan Mei 2020 - 2022 di kawasan hutan Bukit Kototabang, Palu, dan Sorong yang secara umum mengalami kenaikan setiap tahunnya. Dalam dua tahun laju peningkatan rata-rata paling tinggi terjadi di Bukit Kototabang dengan nilai 3,12 ppm per tahun sedangkan laju peningkatan rata-rata di Palu dan Sorong berturut-turut sebesar 2,2 ppm per tahun dan 1,8 ppm per tahun.
Diketahui, setiap tahun konsentrasi CO2 di atmosfer meningkat 3,12 bagian per juta. Satu ppm (part per million) adalah satu bagian dari sesuatu yang terkandung dalam satu juta bagian lainnya. Jadi, berarti ada 3,12 bagian CO2 dalam satu juta bagian atmosfer.
Terlepas dari aktifnya badai El-Nino, dia menyebutkan, dengan terjadinya peningkatan suhu tersebut sudah semakin memperparah kekeringan ekstrem yang sedang melanda Indonesia saat ini. Dari kekeringan ini di antaranya telah menyebabkan kesulitan air bersih dan penurunan produktivitas pertanian di berbagai wilayah, termasuk di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
“Faktanya ancaman kekeringan di Indonesia yang diprakirakan berlangsung hingga Januari-Maret 2024 ini baru sebagian pendahuluan. Jika kenaikan suhu global tidak dikendalikan, maka ancaman kekeringan akan semakin parah di masa depan,” kata dia.
Menurut data Food and Agriculture Organization (FAO), jika kenaikan suhu global mencapai 3,5 derajat Celsius, maka akan terjadi krisis pangan global. Hal ini akan berdampak pada 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen pangan dunia tak terkecuali Indonesia.
Ia menyatakan, untuk mengurangi risiko kekeringan dan krisis pangan, maka perlu ada perubahan gaya hidup dengan mulai beralih secara keseluruhan menggunakan energi hijau yang ramah lingkungan tak memproduksi CO2.