Pengamat Beberkan Sejumlah Persoalan Jika Gibran Resmi Jadi Cawapres
Gibran dimunculkan dalam proses politik yang menerabas etika politik.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Putra Presiden Jokowi yang sekaligus Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, secara resmi diusulkan Partai Golkar sebaga bakal calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Usulan tersebut diumumkan saat Rapimnas Partai Golkar yang digelar Sabtu (21/10/2023).
Menguatnya nama Gibran sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo setelah Mahkamah Konstitusi yang dipimpin paman Gibran, Anwar Usman, mengabulkan gugatan mahasiswa asal Surakarta terkait syarat usia capres-cawapres. Berdasarkan putusan tersebut, Gibran yang pernah menjabat kepala daerah, bisa mendaftar menjadi cawapres meskipun usianya belum 40 tahun.
"Peristiwa politik ini adalah sesuatu yang amat disayangkan karena memberikan efek buruk bagi demokrasi maupun kontestasi politik dalam banyak hal," kata pengamat politik Universitas Airlangga (Unair), Airlangga Pribadi, Sabtu (21/10/2023).
Alumnus Murdoch University, Australia, itu pun menyoroti beberapa kontroversi jika nantinya Gibran benar-benar dicalonkan jadi cawapres Prabowo. Pertama, kata dia, pemilihan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo adalah rangkaian yang tak dapat dipisahkan dari kontroversi politik putusan MK.
MK menerima gugatan agar mereka yang sedang atau pernah menjabat sebagai bupati wali kota ataupun gubernur dapat menjadi capres dan cawapres meskipun belum berusia 40 tahun. Menurut Airlangga, keputusan tersebut menandai terjadinya krisis etika republik dan melecehkan etika publik.
"Di mana etika imparsialitas terlanggar dalam keputusan tersebut dengan adanya conflict of interest yang muncul ketika Ketua MK Anwar Usman ikut serta memutuskan perkara dengan menerima gugatan," ujarnya.
Cacat politik dan cacat konstitusional...
Airlangga melanjutkan, seperti diketahui, ada hubungan kekerabatan antara Ketua MK dan Gibran. Ketua MK adalah adik ipar Presiden Jokowi, yang tak lain adalah paman Gibran. Ia pun mengingatkan terkait etika hakim, bahwa yang memiliki hubungan kekerabatan dalam setiap kasus hukum tidak boleh terlibat dalam pengambilan keputusan hukum.
"Dari sini maka momen pemilihan pasangan Prabowo-Gibran menjadi penegasan rangkaian penyalahgunaan kekuasaan, ketika hukum menjadi instrumen dari kekuasaan kepentingan politik dominan," kata Airlangga.
Permasalahan kedua yang disorot Airlangga adalah pasangan Prabowo-Gibran yang disebutnya cacat politik dan cacat konstitusional. "Mereka sejak awal menjadi bagian dari kekuatan politik yang memperoleh imbas keuntungan politik dari manuver yang bertujuan untuk melemahkan etika republik dan memasung demokrasi kita," ujarnya.
Permasalahan selanjutnya, kata Airlangga, implikasinya pada perjalanan kontestasi Pilpres 2024. Dimana pemilihan Gibran sebagai pendamping Prabowo bisa memunculkan polarisasi politik sampai ke tingkat bawah.
"Mengingat kontestasi ini berlangsung dalam persepsi publik yang cukup kuat bahwa pemilu berjalan tidak fair. Ada yang diuntungkan dari berbagai pelemahan republik maupun demokrasi yang berjalan," ucapnya.
Akhir pemerintahan Jokowi ternodai...
Airlangga melanjutkan, harapan tampilnya politisi muda yang bersih sesuai keinginan kaum milenial dan Gen Z, justru memberikan noda pada politisi muda, Gibran Rakabuming Raka. Karena yang bersangkutan dimunculkan dalam prosesi politik yang penuh dengan penghancuran atas trias politica.
Peristiwa politik ini juga disayangkan karena membuat akhir dari pemerintahan Jokowi yang telah berlangsung baik selama ini, menjadi ternodai. "Ibarat pesawat yang dalam perjalanannya berlangsung dengan mulus, pada akhirnya mengalami crash landing. Di sini fatal sekali efeknya dari proses politik yang banyak menerabas etika politik," ujarnya.