Menebar Toleransi dari Sekolah di Parigi
Pelajar dari berbagai daerah di Indonesia bisa sekolah gratis di SMK Bakti Karya.
REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN — Sinar matahari terasa cukup terik di Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, pada Rabu (11/10/2023). Musim kemarau, yang disertai fenomena cuaca El Nino, membuat hawa siang itu terasa lebih panas ketimbang biasanya.
Meski begitu, sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bakti Karya masih terlihat semangat beraktivitas di halaman belakang sekolah, selepas jam pelajaran. Hilmi Nurul Latipah salah satunya. Dengan cekatan ia menggunakan gergaji untuk memotong kayu. “Ini buat bawahan kursi,” kata pelajar berusia 15 tahun itu kepada Republika.
Kursi itu disiapkan sebagai dekorasi untuk miniatur rumah adat Jawa Barat, parahu kumureb. Parahu kumureb menjadi satu dari lima rumah adat yang ditampilkan pada Festival 28 Bahasa 2023. Festival tersebut merupakan kegiatan tahunan SMK Bakti Karya, yang tahun ini digelar pada Sabtu (21/10/2023).
Hilmi antusias menyambut Festival 28 Bahasa. Tahun ini merupakan kesempatan pertama bagi siswa angkatan 2023 atau Keumalahayati SMK Bakti Karya itu ikut serta dalam festival secara langsung. Ia dengan sungguh-sungguh mempersiapkan segalanya agar festival bisa berlangsung dengan meriah.
Dalam Festival 28 Bahasa 2023, Hilmi bersama teman seangkatannya juga menampilkan sebuah tarian kreasi. Sementara untuk penampilan individual, siswi asal Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, itu membacakan puisi berjudul “Basa Indung Nyorang Jaga”.
Sementara bagi Alfredo Yance Sama (15 tahun), yang akrab disapa Edo, Festival 28 Bahasa tahun ini merupakan yang kedua kalinya ia ikuti. Ia tetap antusias. Bersama sejumlah rekannya, siswa asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, itu menyiapkan diri untuk menampilkan tari wisisi. “Itu dari Papua. Hampir setiap kota-kota di Papua tahu tari itu,” kata siswa angkatan 2022 atau Ki Hadjar Dewantara SMK Bakti Karya itu.
Bagi Edo, menampilkan tari wisisi menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, pada festival sebelumnya, siswa asal Papua di sekolahnya rata-rata membawakan tari yospan. “Saya mau lain dari sebelumnya,” ujar dia.
Pada Festival 28 Bahasa 2023 ini juga ditampilkan budaya Papua lainnya, seperti rumah adat honai. Para siswa asal Papua di SMK Bakti Karya juga menyajikan makanan dengan cara tradisional bakar batu.
Merasakan langsung keberagaman
SMK Bakti Karya berada di Jalan Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Siswa SMK Bakti Karya ini bukan hanya berasal dari Kabupaten Pangandaran, melainkan dari berbagai daerah di Indonesia. Saat ini setidaknya ada sekitar 70 siswa di SMK yang memiliki jurusan multimedia, penyiaran, dan perfilman itu.
Hilmi Nurul Latipah, yang baru lulus jenjang SMP pada pertengahan 2023, sebelumnya tak terpikir melanjutkan sekolah di SMK Bakti Karya. Rumah Hilmi memang tak jauh dari SMK itu. Namun, ia awalnya ingin melanjutkan pendidikan di sekolah lain.
“Namun, pas ada sosialisasi ke SMP aku, jadi tertarik. Soalnya, siswa di sini tidak hanya dari satu pulau. Jadi, keberagamannya itu dapet,” kata pelajar yang menggunakan kerudung itu.
Sejak dulu Hilmi memiliki ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam soal keberagaman di Indonesia, yang disampaikan banyak buku pelajaran. Baik itu keberagaman suku, adat, bahasa, makanan, dan lain sebagainya. Ketertarikan Hilmi untuk masuk ke SMK Bakti Karya, yang memiliki program kelas multikultural, mendapat dukungan dari orang tua, apalagi kakaknya juga alumnus sekolah itu.
Baru sekitar empat bulan duduk di bangku SMK, Hilmi mengaku sudah mendapatkan banyak pelajaran mengenai perbedaan. Di sekolah ia berkenalan dengan siswa yang berbeda warna kulit, bahasa, cara berbicara, logat, dan kebiasaan. Hilmi belajar bagaimana menghargai perbedaan itu, toleransi, juga gotong royong.
“Sempat kaget, apalagi sama orang timur. Kalau di sini kan biasanya lembut, tapi orang timur nadanya agak tinggi. Namun, ketika sudah tahu, jadi biasa saja. Aku juga sangat menikmati. Aku dapet seperti apa Indonesia,” kata pelajar yang bercita-cita menjadi psikolog itu.
Bagi Edo, yang berasal dari Papua, sekolah di SMK Bakti Karya menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ia membawa kenangan muram soal kerusuhan yang diduga akibat tindakan rasisme di Wamena pada 2019. Saat kejadian itu, 23 September 2019, ia masih duduk di kelas VII SMP.
Namun, selama bersekolah di SMK Bakti Karya, Edo mengaku tak ada yang melakukan tindakan rasisme terhadapnya. “Teman-teman saya di sini tidak rasis kepada kami orang Papua. Di sini semua sama, tidak pandang kami dari mana,” kata dia.
Awalnya Edo tertarik melanjutkan pendidikan di SMK Bakti Karya karena ingin bersekolah di luar Papua. Terlebih ia mendapat kabar dari kakaknya soal beasiswa dari sekolah itu. Ia kini tinggal di “Kampung Nusantara”, asrama tempat para siswa yang disediakan yayasan sekolah di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi.
Saat awal-awal tinggal di asrama sekolah, Edo mengaku sempat kesulitan beradaptasi dengan siswa lain, terlebih dengan siswa dari daerah lain. Perbedaan bahasa menjadi kendala utama. Alhasil, ia lebih sering berkumpul dengan siswa yang juga berasal dari Papua.
Namun, perlahan rasa canggung luntur. Makin lama keakraban tercipta antarsiswa yang berasal dari berbagai daerah. “Dari asrama mulai saling berkomunikasi, cerita bareng, sampai sekarang semua cair,” kata siswa kelas XI di SMK Bakti Karya itu.
Menurut Edo, kelas multikultural di SMK Bakti Karya banyak memberinya pelajaran tentang budaya dari daerah lain, yang selama ini hanya didapatkannya dari buku pelajaran sekolah. Di kelas multikultural ia dapat berinteraksi langsung dengan teman dari berbagai daerah.
Edo pun bertekad membawa semua pelajaran yang didapatkan di SMK Bakti Karya ke tanah kelahirannya. “Itu satu pembelajaran yang sangat penting sekali. Tidak semua orang bisa merasakan yang saya rasakan, melihat apa yang saya lihat. Itu juga mengubah pola pikir,” kata Edo, yang berencana berkuliah sebelum kembali ke Papua itu.
Kisah di balik kelas multikultural
Adalah Ai Nurhidayat yang menjadi salah satu penggagas kelas multikultural di SMK Bakti Karya. Pria lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina itu awalnya tak memiliki niat untuk fokus di dunia pendidikan formal. Masa mudanya setelah lulus kuliah banyak dihabiskan dengan berkomunitas.
Tak lama setelah Kabupaten Pangandaran menjadi daerah otonom baru, pada awal 2013, Ai bersama sejumlah rekannya mendirikan Komunitas Sabalad. Komunitas ini berfokus pada bidang literasi, ekologi, kepemudaan, seni budaya, dan pemanfaatan teknologi.
Salah satu program Komunitas Sabalad berkeliling sekolah untuk menyediakan buku bacaan kepada para siswa. “Karena ada aktivitas literasi, kami biasa ke sekolah dan saya diminta mengajar di SMK pada 2014,” kata Ai.
Kondisi sekolah tempatnya mengajar itu cukup memprihatinkan. Sekolah swasta yang baru berdiri pada 2011 itu tak memiliki gedung. Pada awal pendiriannya, sekolah itu sempat meminjam aula kantor desa untuk tempat belajar, menggunakan madrasah diniyah, hingga akhirnya menyewa gudang kelapa.
Sekolah itu pun tak bisa bertahan lantaran minat siswa terus menurun. Hingga akhirnya Ai bersama Komunitas Sabalad mengambil alih SMK bernama Bakti Karya itu, membangun gedung sekolah, dan mengubah konsep pembelajaran di dalamnya. “Pada 2015, sekolah itu dipindahkan ke komunitas,” kata laki-laki kelahiran 22 Juni 1989 itu.
Usai mengambil alih kepengurusan SMK Bakti Karya ke Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat bersama sejumlah rekannya memulai program kelas multikultural pada 2016. Terdapat sekitar 40 siswa dari berbagai daerah yang didatangkan ke sekolah itu dengan bantuan jejaring komunitas di tingkat nasional.
Para siswa dari beragam daerah itu tinggal di asrama. Seluruh siswa juga diberikan beasiswa penuh, bahkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung oleh pihak yayasan.
Ai mengisahkan, ide awal membuat program kelas multikultural adalah fakta bahwa hingga hari ini keberagaman budaya di Indonesia belum sepenuhnya dapat diterima. Itu dibuktikan dengan selalu munculnya isu perbedaan pada beberapa momen tertentu.
Saat tahun politik, misalnya, masyarakat mudah sekali terpolarisasi karena urusan agama, persinggungan daerah, suku, dan primordialisme. Kondisi itu dinilai dapat tercipta karena masih suburnya prasangka terhadap kelompok yang berbeda.
“Semangat kebangsaan yang dibangun sejak dahulu itu belum tuntas. Untuk mempersatukan itu, harus sadar dulu bahwa kita ini beragam. Kelas multikultural ingin menjawab itu, supaya rasa kebangsaan tumbuh, persatuan dalam keragaman ini tumbuh,” kata Ai.
Ai menjelaskan, program kelas multikultural bertujuan mendekatkan orang dengan berbagai latar belakang untuk saling mengenal dan memahami, sehingga tidak muncul kesalahpahaman di antara anak bangsa. Karenanya, SMK Bakti Karya memberikan kesempatan kepada para siswa untuk tinggal dan hidup bersama dengan siswa lain yang berbeda latar belakang budaya dan pengalamannya.
“Jadi, mereka bisa saling kenal secara holistik, mulai dari cara hidup, cara pandang, dan lainnya. Ujungnya akan timbul rasa saling memahami dan saling support, saling berempati. Dari sana bisa lahir semangat kebangsaan, semangat persaudaraan sesama anak bangsa,” ujar Ai.
Ai mengatakan, hingga saat ini sudah program kelas multikultural di SMK Bakti Karya sudah memiliki delapan angkatan. Dari delapan angkatan itu, terdapat sekitar 260 siswa dari 25 provinsi dan 45 suku yang pernah dan sedang belajar di SMK Bakti Karya.
Melalui kelas multikultural, para siswa dapat merasakan secara nyata bentuk keberagaman yang sebenarnya. Bukan hanya mendengar dan membaca, melainkan para siswa juga mengalami dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara bagi lingkungan masyarakat sekitar sekolah, yang mayoritas Muslim, dapat hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama dan budaya. “Itu menjadi pengalaman baru bagi warga lokal. Mereka pun berinteraksi dan tidak saling curiga,” kata Ai, yang lahir dan besar di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, itu.
Upaya menggerakkan program kelas multikultural di SMK Bakti Karya itu mengantarkan Ai Nurhidayat menerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards bidang pendidikan pada 2019. SATU Indonesia merupakan apresiasi Astra yang diberikan kepada anak bangsa yang senantiasa memberi manfaat bagi masyarakat.
Menurut Ai, tak mudah untuk terus konsisten menyelenggarakan program multikultural. Salah satu masalah yang dihadapinya adalah stigma masyarakat saat awal dibukanya kelas multikultural di SMK Bakti Karya. “Kalau penolakan dari desa tidak pernah ada. Namun, pernah ada ketika momentum Pilkada DKI Jakarta, terdapat kelompok tertentu melakukan mobilisasi massa untuk menolak sekolah kami. Kami dianggap bermasalah,” ujar Ai.
Urusan penolakan itu bahkan sampai harus diselesaikan di tingkat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pangandaran. Dalam pertemuan itu, dapat dipastikan bahwa kelompok masyarakat yang menolak bukanlah warga sekitar SMK Bakti Karya. Bahkan, kepala desa setempat menilai warga sekitar baik-baik saja dengan keberadaan siswa di kelas multikultural.
Ai mencontohkan, tak jarang warga di sekitar sekolah meminta bantuan siswa untuk bertani saat akhir pekan. Bahkan, pernah ada kegiatan pembangunan masjid di dekat sekolah juga melibatkan siswa dari timur yang mayoritas non-Muslim. Para siswa pun dengan antusias ikut membantu warga yang ada di sekitar sekolah. “Masyarakat justru support, bahkan masyarakat dan siswa dapat berbaur dengan normal,” ujar Ai.
Selain pernah mendapatkan penolakan, Ai mengungkapkan, tantangan lain dalam menjalankan program kelas multikultural adalah urusan pembiayaan. Setiap bulan, dibutuhkan sekitar Rp 30 juta untuk operasional sekolah dan Rp 20 juta kebutuhan asrama.
“Untuk membiayai itu tentu butuh strategi. Karena, mulai dari tiket pesawat, biaya sekolah sampai lulus, (siswa) tidak bayar apa pun. Termasuk asrama dan kebutuhan makan itu digratiskan,” kata Ai, yang kini merupakan ketua Yayasan Darma Bakti Karya.
Selama ini, SMK Bakti Karya mendapat alokasi anggaran dari pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU), maupun program Pangandaran Hebat. Untuk mendukung kegiatan sekolah, Yayasan Darma Bakti Karya berupaya melibatkan publik, melalui program Bakti Karya Fellow (BKF).
“Kalau didiamkan secara alami, tidak mungkin anak dari daerah untuk datang karena aksesnya tertutup berbagai hal, termasuk secara finansial. Tentu kami juga butuh dukungan publik,” kata Ai.
Kendati banyak persoalan yang dihadapi, Ai meyakini dukungan publik terhadap program kelas multikultural di SMK Bakti Karya akan terus ada. Pasalnya, kelas multikultural merupakan sarana efektif agar para siswa dapat berinteraksi dengan perbedaan budaya, yang ujungnya akan berperan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia adalah negeri yang memiliki keberagaman.
Ai pun meyakini program kelas multikultural akan menjadi gerakan yang berkelanjutan. Bahkan, ia menyebut sudah ada cetak biru program SMK Bakti Karya untuk 15 tahun sejak didirikan.
“Dalam 15 tahun pertama ini kami ingin ada banyak sekolah seperti ini di banyak daerah. Jadi, bukan hanya di Pangandaran, tapi orang Pangandaran bisa keluar, misal ke Halmahera atau daerah lain. Apalagi, kita bisa membuktikan itu bisa berjalan,” kata Ai.
Salah seorang guru SMK Bakti Karya, Anjar Prasetio, mengaku mengajar siswa yang memiliki beragam latar belakang bukanlah hal yang mudah. Namun, ia meyakini program kelas mulitkultural di sekolahnya ini dapat menjadi jalan untuk menebarkan semangat toleransi. Sebelum kelulusan, para siswa SMK Bakti Karya nantinya diikrarkan sebagai pekerja perdamaian atau peaceworker.
“Ini harapannya, ketika ada apa-apa, khususnya isu intoleransi, mereka harus jadi yang paling depan untuk mendamaikan,” kata Anjar, yang merupakan lulusan SMK Bakti Karya pada 2018 itu.
Diapresiasi
Kepala Desa Cintakarya, Wawang Darmawan, mengaku mengapresiasi keberadaan SMK Bakti Karya di desanya. “Dengan adanya keberagaman siswa yang ada di SMK itu, di Desa Cintakarya dapat tercipta kerukunan antarumat beragama,” kata Wawang.
Bahkan, pada Juli 2023, Kampung Nusantara di Desa Cintakarya ditetapkan menjadi kampung moderasi beragama. Keberagaman etnis, budaya, dan agama, yang ada di Kampung Nusantara menjadi dasar bagi Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Pangandaran menetapkan wilayah itu menjadi kampung moderasi beragama.
Wawang mengakui sempat ada gejolak di masyarakat ketika awal kelas multikultural di SMK Bakti Karya didirikan. Ia mengisahkan, pernah ada seorang tokoh dari luar desa yang datang kepadanya dan meminta SMK Bakti Karya dibubarkan.
“Namun, saya jelaskan, Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam agar tidak saling menjelekkan. Orang paman Rasulullah juga bukan Muslim, tapi Rasul sayang,” kata Wawang.
Wawang memastikan penolakan terhadap keberagaman yang ada bukan datang dari warga sekitar desa, melainkan dari orang luar. Sebab, warga di Desa Cintakarya disebut menerima keberadaan para siswa SMK Bakti Karya yang memiliki berbagai latar belakang kebudaayan itu. Bahkan, ada sejumlah warga yang menjadi orang tua wali para siswa itu. “Jadi, hubungan keluarganya luar biasa erat,” kata dia.
Wawang menilai, keberadaan siswa yang beragam di SMK Bakti Karya juga banyak membantu aktivitas warga sekitar. Pasalnya, para siswa itu juga berinteraksi langsung dengan masyarakat. Bahkan, ketika ada warga yang panen atau hendak menanam, tak jarang para siswa yang berasal dari berbagai daerah itu ikut membantu ke sawah.
Di sisi lain, warga juga belajar kebudayaan dari para siswa itu. “Yang saya terapkan, majunya suatu daerah itu adalah gumantung (bergantung) budaya. Budaya di sini kan kita harus saling menghargai, menghormati. Selagi tidak merusak tatanan yang ada di Desa Cintakarya, mangga,” ujar Wawang.
Resonansi keberagaman lewat festival
Untuk memperlihatkan keberagaman di Indonesia, SMK Bakti Karya rutin menyelenggarakan Festival 28 Bahasa sejak 2017. Tahun ini, keberagaman ditampilkan melalui kegiatan orasi bahasa daerah, lagu daerah, tarian daerah, dongeng daerah, teater, puisi, atraksi, workshop, hingga berbagai sajian kuliner dari berbagai daerah. Sejumlah rumah adat juga ditampilkan.
Salah seorang guru SMK Bakti Karya, Jujun Junaedi, mengatakan, Festival 28 Bahasa itu dibuat terbuka untuk umum. Menurut dia, tak jarang pengunjung dari luar Pangandaran, bahkan luar Provinsi Jawa Barat.
“Yang ingin disampaikan dari Festival 28 Bahasa adalah memperkenalkan keberagaman ke orang-orang. Jadi, bukan hanya kita yang menikmati di sini, tapi teman-teman yang lain di luar sekolah juga bisa kenal perbedaan di Indonesia,” kata Jujun.
Senada dengan gurunya, Edo menilai, pelaksanaan Festival 28 Bahasa penting untuk dilakukan. Pasalnya, saat ini masih banyak orang yang belum tahu makna dari keberagaman yang dimiliki Indonesia. Keberagaman, kata dia, merupakan keindahan.
Edo mengaku bersyukur bisa merasakan keberagaman itu secara langsung di SMK Bakti Karya. Sebab, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan keberagaman Indonesia secara langsung.
“Kami ingin memberitahukan kepada orang-orang kalau bersatu itu indah. Ketika semua suku bersatu, indah. Kita ingin menunjukkan ke orang-orang kalau kita bisa bersatu. Tidak perlu membanding-bandingkan budaya satu dengan lainnya. Namun, ketika semua ditampilkan bersama, itu akan jadi lebih bagus,” ujar Edo.