Kemenkeu: Kenaikan Harga Beras Jadi Permasalahan Dunia

Pemerintah perlu menggenjot belanja sisi ketahanan pangan.

dokpri
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu, Febrio Kacaribu
Rep: Novita Intan Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut kenaikan harga beras menjadi permasalahan dunia, termasuk Indonesia. Tercatat Panel Harga Badan Pangan menunjukkan harga beras premium hari ini sebesar Rp 14.970 per kilogram dan beras medium naik Rp 20 ke Rp 13.210 per kilogram.
 
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, di tengah situasi ekonomi global yang melambat dan tingginya harga-harga komoditas energi maupun pangan, pemerintah berupaya menjaga daya beli masyarakat.
 
“Ini tidak hanya terkait dengan masalah domestik, harga beras misalnya sudah menjadi masalah besar seluruh dunia secara global," ujarnya saat acara BNI Investor Daily Summit 2023, Selasa (24/10/2023).
 
Menurutnya kebijakan terkait antisipasi dan respons terhadap harga beras akan menjadi bagian dari paket kebijakan yang tengah disusun Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas dengan jajaran menterinya hari ini.
 
"Betul ini tunggu saja pengumumannya setelah dirumuskan, nanti kita tunggu saja pengumumannya, segera,” katanya.
 
Febrio menyadari perlunya menggenjot belanja, terutama yang berkaitan ketahanan pangan dan stabilitas harga. Febrio menyebut akan ada bantuan lanjutan untuk menstabilkan harga beras dan menjaga daya beli masyarakat.
 
"Kita sudah melakukan impor beras, memastikan supply-nya ada, akan tetapi kita ingin lebih bold, nanti kita tunggu saja kebijakan spesifiknya. Ini mungkin tidak lama lagi. Subsidi bisa nantinya dalam bentuk kita menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
 
Oleh sebab itu, dia melanjutkan, pemerintah perlu menggenjot belanja sisi ketahanan pangan dan untuk menstabilisasi harga. Di sinilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berperan sebagai shock absorber.
 
"Nah, ini antisipasi yang harus kita lakukan dan memperankan APBN itu sebagai shock absorber contohnya, bagaimana kita memastikan titik-titik tertentu yang sangat kursial ini, kita pastikan bahwa APBN itu siap untuk melakukan perannya," katanya.
 
Dari sisi inflasi, Febrio menyebut, laju trennya menurun pada jalur yang terbilang bagus. Hanya saja, inflasi volatile food tidak kompak turun.
 
Menurut dia, inflasi volatile food mencerminkan fluktuasi harga makanan yang cenderung naik atau turun secara cepat dan tidak stabil. Dia memaparkan harga bawang dan cabai mengalami deflasi alias mengalami penurunan meskipun harga beras mengalami inflasi.
 
"Nah, jadi memang ada harga-harga spesifik yang harus di-handle oleh pemerintah," ujarnya.
 
Febrio juga memastikan, anggaran pendapatan dan belanja negara hingga akhir tahun ini masih memiliki kapasitas untuk memberikan bantuan daya beli masyarakat seperti dalam paket kebijakan terbaru itu. Data anggaran pendapatan dan belanja negara per 31 Agustus 2023 masih membukukan surplus Rp 147,22 triliun, dari desain tahun ini yang harusnya defisit Rp 598,15 triliun.
 
"Tetap kita siapkan APBN-nya itu fleksibel sehingga ini yang saat fleksibilitas dari APBN itu bisa kita gunakan dengan maksimum ini sudah kita lakukan dari 2020, 2021, apalagi 2022, jadi kalau kita bilang APBN itu sebagai peredam," katanya.
 
Menurut dia, adanya berbagai kebijakan terbaru yang akan dikeluarkan nantinya oleh Presiden Joko Widodo untuk menjaga tren pertumbuhan ekonomi Indonesia, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak akan melebar di atas targetnya 2,84 persen dari produk domestik bruto pada 2023. Dia memperkirakan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara hingga akhir tahun ini sebesar 2,3 persen.
 
"Kita masih lihat arah defisitnya ke bawah 2,3 persen. Jadi outlook akhir tahun masih akan di bawah 2,3 persen. Nah, di sini kita jadi punya ruang bermanuver bagaimana APBN tetap bisa melakukan perannya shock up absorber," ujarnya.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler