Usia yang Masuk Kategori Pernikahan Dini Serta Dampak Negatifnya Bagi Fisik dan Mental
Viral di medsos diduga pasangan pengantin anak 10 tahun yang menikah di Madura.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan dini bisa berujung pada sejumlah permasalahan serta dampak negatif, mengimbas tidak hanya fisik, tetapi juga kondisi mental. Meski negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah, tetap ada ketentuan terkait hal itu.
Berapa usia seseorang hingga disebut masuk dalam kategori pernikahan dini? Tentunya, yang dimaksud dengan pernikahan dini adalah pernikahan yang dilangsungkan pada usia di bawah aturan yang berlaku. Jika menilik undang-undang, batasan usia bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.
Hal itu sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Aturan itu memperbarui batasan sebelumnya yang tak lagi berlaku (sebelumnya minimal 16 tahun bagi perempuan).
Akan tetapi, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menganjurkan usia ideal menikah minimal 21 tahun untuk perempuan dan minimal 25 tahun untuk laki-laki. Sebab, di usia tersebut perempuan dan laki-laki dianggap sudah siap secara fisik dan mental.
Pada kenyataannya, pernikahan usia dini masih terjadi di berbagai daerah Indonesia. Salah satunya, yang terbaru dan menjadi viral di media sosial yakni pasangan pengantin anak yang menikah di Madura. Keduanya diketahui sama-sama masih berusia 10 tahun.
Menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, pernikahan dini masih cukup banyak terjadi di Indonesia. Tercantum dalam "Statistik Pemuda Indonesia Tahun 2022" rilisan BPS, berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2022, sekitar 19,24 persen pemuda di Indonesia pertama kali menikah di usia 16-18 tahun. Bahkan, 2,26 persen pemuda menikah dalam usia kurang dari 16 tahun.
Ditinjau dari perbedaan jenis kelamin, sebanyak 29,78 persen perempuan memiliki usia kawin pertama di bawah 19 tahun. Persentase itu jauh lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yakni sebanyak 6,77 persen yang usia kawin pertamanya di bawah 19 tahun.
Apa saja permasalahan yang bisa terjadi akibat pernikahan usia dini? Perempuan yang menikah dini bisa mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, sehingga bisa mengimbas kondisi kesehatan diri dan anak yang dilahirkan. Begitu pula pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang masih minim akan berdampak pada kesehatan.
Dikutip dari laman resmi BKKBN, pernikahan dini amat berisiko bagi kaum perempuan yang kelak akan mengandung dan melahirkan. Secara anatomi, tulang remaja masih terus tumbuh hingga usia 20 tahun. Namun, karena adanya pernikahan dini dan hamil di bawah usia tersebut, pertumbuhan tulang berhenti sehingga tulang rentan keropos atau osteoporosis.
Menurut BKKBN, pernikahan usia muda dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu, kematian bayi, serta rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar selama kehamilan atau melahirkan, dibanding perempuan berusia 20-25 tahun.
Kemungkinan ibu meninggal dunia jika hamil atau melahirkan selama rentang usia 15-19 tahun juga dua kali lebih besar. Selain itu, juga muncul risiko kesakitan dan kematian yang timbul selama proses kehamilan dan persalinan.
Hasil studi lain menunjukkan adanya hubungan antara usia ibu saat melahirkan dengan angka kejadian stunting pada anak. Semakin muda usia ibu saat melahirkan, akan semakin besar kemungkinan untuk melahirkan anak yang stunting.
Belum lagi, imbasnya pada pendidikan. Sebab, pernikahan dini bisa membuat remaja tidak menuntaskan atau melanjutkan pendidikannya. Terdapat juga banyak kasus drop out dari sekolah, sehingga berpengaruh pada kesempatan berkarier, serta perekonomian keluarga.
Terdapat pula berbagai efek buruk lain yang bisa memengaruhi kondisi mental, yakni emosi yang tidak stabil, risiko stres, depresi, gangguan kecemasan, serta potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Data menunjukkan bahwa kasus perceraian tertinggi cenderung terlihat pada pasangan di kelompok usia 20-24 tahun.
Mayoritas kasus perceraian terjadi karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam usia pernikahan belum genap lima tahun. Tingginya angka perceraian pada kelompok tersebut sebagai akibat ketidaksiapan psikologis dalam menjalani kehidupan berkeluarga.
"Kesiapan psikologis diartikan sebagai kesiapan individu dalam menjalankan peran sebagai suami atau istri, meliputi pengetahuan akan tugasnya masing-masing dalam rumah tangga, kesiapan mental, perilaku, perasaan, pikiran, serta sikap seseorang," kata Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo.