KPAI: Kesehatan Mental Jadi Faktor Utama Anak Bunuh Diri

KPAI sebut kesehatan mental menjadi faktor utama anak untuk bunuh diri.

Pixabay
Ilustrasi kesehatan mental. KPAI sebut kesehatan mental menjadi faktor utama anak untuk bunuh diri.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, kesehatan mental menjadi salah satu dari sejumlah faktor penyebab anak mengakhiri hidup atau bunuh diri. Keluarga, sekolah, masyarakat, dan paparan konten media sosial memegang peranan penting terhadap kesehatan mental anak.

Baca Juga


“Ada beberapa faktor di luar kesehatan mental yang memang itu menjadi penyebab bunuh diri anak. Tetapi bahwa apakah ada kesehatan mental memengaruhi bunuh diri anak, ya ada. Tapi memang tidak semuanya,” ujar Komisioner KPAI Diyah Puspitarini kepada Republika, Senin (6/11/2023).

Lebih lanjut dia menerangkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak dan remaja mengalami gangguan kesehatan mental. Faktor utamanya, kata dia, adalah pola pengasuhan di rumah. Kemudian faktor lain, yakni penanaman spiritual dan nilai keagamaan di rumah kepada anak. Faktor berikutnya masih erat kaitannya dengan keluarga, yakni teladan orang tua kepada anak.

“Dan tentu saja yang keempat adalah faktor media sosial. Jadi memang kesehatan mental ini salah satunya juga terjadi karena interaksi media sosial, di mana anak dengan dunia maya ini jauh lebih banyak daripada interaksi anak dengan dunia nyata,” jelas dia.

DIyah menyampaikan, KPAI turut prihatin dengan fenomena bunuh diri anak yang belakangan terjadi. Sebab itu, pihaknya menilai kesehatan mental anak dan remaja saat ini memang sudah harus menjadi perhatian dan salah satu fokus pembangunan manusia di Indonesia.

“Memang kita harus sedih ya, kami turut prihatin bahwa memang kesehatan mental anak dan remaja saat ini memang harus diperhatikan dan menjadi salah satu fokus dari pembangunan manusia,” kata Diyah.

Dia mengungkapkan, mental yang sehat bukanlah suatu hal yang dapat didapatkan dengan instan. Ada proses yang panjang di belakang semua itu yang semuanya berkaitan dengan pembentukan karakter. Prosesnya, kata Diyah, dilatarbelakangi oleh banyak faktor pula. 

“Penguatan terbesar itu satu dari keluarga. Keluarga itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan keperibadian dan bagaimana resiliensi atau kesehatan mental anak itu juga terbentuk,” tutur dia.

Lalu, hal itu juga dipengaruhi faktor situasi ruang yang aman dan nyaman di rumah. Pada faktor ini komunikasi dengan keluarga juga perlu menjadi perhatian.

Dengan komunikasi yang terjalin dengan baik, maka ketika anak mengalami persoalan di luar rumah maupun di dalam rumah persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik. 

“Anak tidak mungkin menyelesaikan sendiri. Harus ada orang-orang di sekitar yang membantu mengarahkan. Siapa itu? Keluarga. Kemudian yang kedua sekolah, pendidikan, terus yang ketiga masyarakat. Dan terakhir saya kira media sosial itu sangat berpengaruh juga terhadap kesehatan mental,” terang Diyah.

Di samping itu, gangguan kesehatan mental atau depresi merupakan masalah kejiwaan yang rentan terjadi pada remaja. Data di Indonesia menunjukkan sebanyak 6,1 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental.

Khamelia Malik dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyampaikan, terdapat paradoks pada kesehatan remaja. Di satu sisi, secara fisik masa remaja merupakan periode paling sehat sepanjang hidup dari segi kekuatan, kecepatan, kemampuan penalaran, lebih tahan terhadap kondisi dingin, panas, kelaparan, dehidrasi dan berbagai jenis cedera.

“Justru angka kesakitan dan kematian meningkat hingga 200 persen di masa remaja akhir ini,” kata Khamelia.

Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan dalam mengendalikan perilaku dan emosi yang mengakibatkan kesakitan dan kematian. Dia mengatakan, yang membuat remaja sulit dipahami ada pada area otak yang mengalami maturasi lebih cepat dibanding area lainnya.

Otak remaja berkembang dalam keadaan konstan, yang berarti remaja lebih cenderung melakukan perilaku berisiko dan implusif, kurang mempertimbangkan konsekuensi dibanding orang dewasa. Itulah sebabnya penting bagi orang tua untuk membimbing dan menjadi panutan para remaja dalam membangun kecerdasan emosi dan mengambil pilihan yang lebih sehat.

Menurut Khamelia, orang tua ataupun guru perlu membantu remaja untuk mengevaluasi risiko dan mengantisipasi konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil remaja. Keduanya juga dapat mengembangkan strategi untuk mengalihkan perhatian dan energi ke aktivitas yang lebih sehat agar kesehatan mental juga terjaga.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler