Kebijakan Ekonomi Era Jokowi: Antara Keberhasilan dan Tantangan

Catatan pencapaian dan tantangan kebijakan yang diambil era Jokowi

Republika/Putra M. Akbar
Pekerja saat bongkar muat beras impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (12/10/2023). Perum Bulog mengimpor sebanyak 24.000 ton beras yang merupakan bagian dari penugasan impor 2 juta ton beras pada tahun 2023 untuk memperkuat Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: M Nur Rianto Al Arif (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)


Pemerintahan Joko Widodo yang telah berada di penghujung periodenya, telah menyusun berbagai kebijakan ekonomi dengan tujuan memajukan Indonesia. Meskipun ada pencapaian yang patut diapresiasi, seperti infrastruktur yang ditingkatkan dan upaya peningkatan daya saing, banyak kritik terhadap pencapaian kebijakan ekonomi yang diambil era Jokowi.

Salah satu kritik utama adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi. Apabila kita membandingkan maka era Jokowi yang memiliki rerata pertumbuhan ekonomi 4,13% berada di bawah rerata era SBY yang mencapai 5,70%. Tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi % yoy era Jokowi hanya mencapai 5,3%, sedangkan di era SBY pertumbuhan ekonomi % yoy dapat mencapai 6,5%.  

Meskipun terdapat beberapa faktor eksternal seperti pandemi covid-19 yang memengaruhi pertumbuhan, beberapa pihak menganggap bahwa reformasi ekonomi yang dijalankan belum mencapai potensinya. Pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah pengangguran dan kesenjangan sosial.

Kritik kedua ialah terkait tantangan dalam investasi asing. Beberapa tantangan utama dalam investasi asing ialah ketidakpastian dalam regulasi bisnis Indonesia. Perubahan kebijakan yang sering terjadi dan interpretasi yang bervariasi dari hukum dan peraturan sering membuat investor asing merasa sulit untuk merencanakan investasi jangka panjang.

Tantangan kedua ialah terkait masing tingginya biaya operasional seperti biaya tenaga kerja, biaya energi dan birokrasi yang memakan waktu. Berikutnya ialah masih ada beberapa daerah yang menghadapi keterbatasan akses infrastruktur dasar seperti jaringan transportasi dan listrik.

Hal ini kemudian akan menghambat kemampuan Perusahaan untuk beroperasi dengan efisien. Proses perizinan dan pengurusan bisnis di Indonesia sering kali rumit dan memakan waktu menjadi tantangan lainnya yang menghambat masuknya investasi asing.

Selain itu, investor asing sering kali menghadapi masalah hukum terkait dengan kepemilikan tanah, sengketa kontrak, dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Tantangan terakhir dalam kaitannya dengan investasi asing ialah faktor-faktor sosial dan politik.

            

Kritik ketiga ialah terkait situasi di lapangan yang kontras dengan tingkat kepuasan Masyarakat terhadap Presiden Jokowi. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi mencapai 74,3% pada Agustus 2023.

Namun menurut peneliti dari PolMark Indonesia Eep Saefullah Fatah ternyata ketika ditanya keadaan-keadaan tertentu, Masyarakat menganggap keadaan ini buruk.

Ada lima keadaan masyarakat di Indonesia yang ditanyakan. Pertama, harga kebutuhan pokok di 32 provinsi di Indonesia menurut sebagian besar responden (92,6%) semakin mahal dan tak terjangkau. Kemudian 90% responden mengakui bahwa situasi diperparah dengan banyaknya pejabat negara yang terseret kasus korupsi dan membuat kehidupan masyarakat semakin sulit.

Situasi buruk ketiga ialah semakin susah mencari pekerjaan. Bahkan dalam hal kebutuhan dasar di layanan Kesehatan pemerintah juga sangat mengecewakan, dimana 80,3% responden mengatakan bahwa program kesehatan belum merata dan menjangkau masyarakat miskin.

Rasa tidak puas terakhir ialah terkait Pembangunan infrastruktur berkembang tapi belum merata, sehingga belum memperbaiki kehidupan masyarakat.

Kritik keempat ialah terkait isu pengangguran dan ketimpangan sosial. Meskipun telah ada program Pembangunan infrastruktur yang besar-besaran, tingkat pengangguran masih tinggi di beberapa daerah.

Program-program yang dilakukan pemerintah seperti kartu pra kerja ternyata belum selalu berhasil menciptakan lapangan kerja yang cukup untuk memenuhi kebutuhan warga yang mencari pekerjaan.

Pada saat yang sama, kesenjangan sosial masih menjadi masalah serius yang harus diatasi. Ketimpangan dalam akses terhadap Pendidikan, kesehatan, dan perumahan, masih menjadi masalah serius di Indonesia. Beberapa kritikus berpendapat bahwa ada ketidakseimbangan dalam distribusi manfaat pertumbuhan ekonomi.

 

Kritik terakhir ialah ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor komoditas, seperti minyak dan batubara. Ketergantungan ini dapat membuat perekonomian rentan terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar global. Ketika harga komoditas turun, pendapatan negara dan perusahaan yang bergantung padanya dapat merosot tajam, mengakibatkan ketidakpastian ekonomi.

Selain itu hal ini dapat meningkatkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Kemudian ketergantungan pada satu sektor komoditas dapat menghambat diversifikasi ekonomi. Hal yang tak kalah pentingnya ialah eksploitasi sumber daya alam sektor komoditas.

Meskipun ada kritik terhadap kebijakan ekonomi era Jokowi, perlu diingat bahwa tidak semua elemen negatif. Terdapat beberapa proyek infrastruktur penting yang telah dilaksanakan dengan sukses, seperti Pembangunan jalan tol, pelabuhan yang lebih modern, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan proyek infrastruktur lainnya.

Selain itu, upaya untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi Indonesia telah diupayakan secara optimal. Pemerintahan berikutnya setelah era Jokowi tentu harus melakukan berbagai gerak cepat dalam berbagai hal mulai dari Pembangunan manusianya sampai dengan peningkatan peran Indonesia dalam dunia global.

Hal ini tentu sebagai upaya untuk mempercepat pencapaian Indonesia Unggul.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler