Hakim Adil Kelak Mendapat Derajat Tinggi di Sisi Allah, Asal...
Jangan sampai karena kepentingan sekelompok orang memutuskan perkara secara sepihak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim yang adil akan ditempatkan pada sebuah tempat yang penuh dengan cahaya. Mereka kelak di akhirat akan mendapatkan derajat yang begitu tinggi di sisi Allah.
Sebab, selama di dunia orang tersebut adil dalam setiap urusannya, mendapat kepercayaan menjadi seorang hakim dan adil dalam mengeluarkan keputusan dalam suatu perkara.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِنَّ الْمُقْسِطِيْنَ عِنْدَاللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُوْرٍ عَنْ يَمِسْنِ الرَّحْمَنِ وَكِلْتَايَدَيْهِ يَمِيْنُ الَّذِيْنَ يَعْدِلُوْنَ فِى حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيْهِمُ وَمَاوُلُّوا.
Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang adil kelak di sisi Allah berada di tempat-tempat yang tinggi (mimbar) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Zat Yang Maha Pengasih. Kedua tangannya merupakan tangan kanan orang-orang yang adil dalam keputusan mereka, keluarga mereka dan apa-apa yang dikuasakan kepada mereka.” (HR. Muslim dan Nasai).
Maka berbuat adil itu adalah termasuk dari ibadah yang utama. Bahkan berbuat adil lebih utama dari amalan sunah seperti shalat malam dan puasa sunah puluhan tahun. Kenapa? Karena ketika seseorang mampu adil dalam urusannya, atau adil dalam memutuskan satu perkara dampaknya akan begitu besar terhadap kehidupan.
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: يَاأَبَاهُرَيْرَةَ عَدْلُ سَاعَةٍ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ سِتِّيْنَ سَنَةً قِيَامِ لَيْلِهَاوَصِيَامِ نَهَارِهَا, وَيَاأَبَاهُرَيْرَةَ جَوْرُسَاعَةٍ فِى حُكْمٍ أَشَدُّ وَأَعْظَمُ عِنْدَاللَّهِ عَزَّوَجَلَّ مِنْ مَعَاصِى سِتِّيْنَ سَنَةً.
Dari Abi Hurairah, Nabi Muhammad Saw telah bersabda, “Wahai Abu Hurairah, adil sesaat itu lebih utama dari pada ibadah enam puluh tahun. Yaitu bangun pada malamnya dan puasa pada siang harinya. Wahai Abu Hurairah, menyeleweng sesaat dalam memutuskan perkara itu lebih berat dan lebih besar dosanya di sisi Allah Azza wa Jalla dari pada kemaksiatan enam puluh tahun.” (HR. Al Ashbihani)
Maka dari itu seseorang hakim harus...
Maka dari itu seseorang hakim harus adil. Jangan sampai karena kepentingan sekelompok orang lalu memutuskan suatu perkara secara sepihak. Maka ketidak adilan akan mengantarkan pada neraka.
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَامِنْ أَحَدٍ يَكُوْنُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ أُمُوْرِ هَذِهِ الْاُمَّةِ فَلَمْ يَعْدِلْ فِيْهِمْ اِلَّا كَبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ.
Rasulullah Saw bersabda, “Tidak seorang pun yang diserahi urusan umat ini, lalu tidak berlaku adil kepada umat kecuali Allah pasti menjerumuskannya ke dalam neraka.” (HR. Thabarani.
Oleh karenanya ada syarat-syarat yang ketat yang harus dipenuhinya seseorang yang menjadi hakim. Tentang syarat-syarat menjadi hakim ini para ulama terdapat perbedaan pendapat tentang jumlahnya.
Topo Santoso dalam buku Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda menjelaskan Al Khatib mengajukan 15 syarat menjadi hakim. Sedangkan Al Mawardi dan Ibnu Qudamah mengajukan 7 syarat menjadi hakim. Sedangkan Murtaza Azad bahkan menyebut sebagian ahli fiqih mengenal 30 syarat bagi seseorang agar bisa menjadi qadhi.
Secara ringkas dapat diambil...
"Secara ringkas dapat diambil syarat-syarat umum yang harus ada pada seorang qadhi, yaitu 1) lelaki yang merdeka, 2) berakal (mempunyai kecerdasan), 3) beragama Islam, 4) adil, 5) mengetahui segala pokok-pokok hukum dan cabang-cabangnya, dan 6) sempurna pendengaran, penglihatan, dan tidak bisu," (Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda karya Topo Santoso, penerbit Gema Insani Press, 2003, halaman 50).
Oleh karenanya, seorang hakim hendaknya orang yang terpelihara dari perbuatan yang haram. Hakim adalah orang yang dapat dipercayai kejujurannya baik di waktu marah ataupun di waktu tenang, dan orang yang benar perkataannya. Oleh karenanya, tidaklah boleh mengangkat orang fasik menjadi hakim.
Meski begitu, golongan Hanafiah membolehkan. Para penganut Mazhab Hanafiah berpendapat putusan hakim yang fasik adalah sah asal putusan itu sesuai dengan hukum syara' dan undang-undang yang berlaku, walaupun ada yang lebih pantas daripadanya.
Sementara itu, imam Asy Syafi'i tidak membolehkan mengangkat orang yang fasik menjadi hakim karena orang fasik tidak dapat diterima menjadi saksi.