Tak Hanya Pangkas Jejak Karbon Wisatawan, Carbon Passport Juga Selamatkan Destinasi Wisata
Pembatasan jumlah pelancong penting untuk keberlanjutan pariwisata global.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paspor karbon (carbon passport) merupakan sistem yang diusulkan untuk mengurangi emisi karbon dari sektor pariwisata, dengan memberikan tunjangan karbon dalam jumlah terbatas kepada wisatawan. Sistem ini pada akhirnya akan membatasi jumlah perjalanan yang diizinkan setiap tahunnya, demikian menurut laporan Intrepid Travel.
Carbon passport akan berbentuk dokumen yang ‘memaksa’ semua orang untuk menjatah penggunaan karbon sesuai dengan anggaran karbon global. Anggaran karbon global adalah jumlah maksimum karbon dioksida yang dapat dilepaskan ke atmosfer tanpa menyebabkan krisis iklim yang dahsyat. Saat ini diperkirakan mencapai 750 miliar ton hingga tahun 2050.
Penerapan carbon passport ini juga berarti bahwa setiap orang akan dialokasikan sejumlah tunjangan karbon tertentu untuk kegiatan perjalanan mereka. Tunjangan ini akan didasarkan pada jejak karbon personal dan perlu dikelola sepanjang tahun.
Laporan dari Intrepid Travel juga menunjukkan bahwa pada tahun 2040, pembatasan dapat diberlakukan pada jumlah perjalanan yang diizinkan setiap tahunnya. Tujuannya adalah untuk mengurangi aktivitas yang menghasilkan karbon seperti penerbangan jarak jauh dan mendorong bentuk-bentuk perjalanan yang lebih berkelanjutan.
Para pakar yang terlibat dalam laporan Intrepid Travel menyatakan, pembatasan wisata dan carbon passport sangat penting bagi keberlanjutan pariwisata global. Salah satu faktor pendorong dibalik perlunya pembatasan liburan adalah dampak perubahan iklim terhadap destinasi wisata populer.
Laporan dari Intrepid Travel memperingatkan bahwa banyak destinasi, seperti Yunani dan Majorca, mungkin akan menjadi terlalu panas bagi pengunjung untuk menikmati liburan musim panas. Hal ini dapat menyebabkan pergeseran dalam pola perjalanan, dengan para pelancong yang mencari tujuan yang lebih sejuk seperti Belgia, Slovenia, dan Polandia.
Potensi kepunahan destinasi populer ini menyoroti kebutuhan mendesak akan tindakan untuk mengurangi perubahan iklim dan melestarikan keragaman pengalaman perjalanan. Kurangnya tindakan dari industri pariwisata dalam mengatasi perubahan iklim diprediksi akan menghasilkan tren yang sangat buruk dan fatal.
“Model perjalanan saat ini, yang sangat bergantung pada aktivitas padat karbon, tidak berkelanjutan dalam menghadapi perubahan iklim. Pentingnya dekarbonisasi industri perjalanan sangat penting untuk memastikan kelangsungan jangka panjang sektor ini dan untuk melindungi lingkungan,” demikian kata laporan tersebut seperti dilansir Tunley Environment, Kamis (9/11/2023).
Intrepid Travel memprediksi kemunculan sekelompok wisatawan yang mereka sebut sebagai 'travel transformer'. Kelompok ini diharapkan dapat mendorong pergeseran menuju perjalanan regeneratif, yang berfokus pada dampak sosial dan lingkungan dari liburan. Para travel transformer cenderung lebih sadar akan jejak karbon mereka dan mencari opsi perjalanan yang berkelanjutan. Pilihan dan perilaku mereka dapat memengaruhi masa depan industri perjalanan dan berkontribusi pada penerapan paspor karbon dan pembatasan liburan.
Para pakar juga menegaskan perlunya tindakan kolektif dan inovatif untuk mengurangi karbon dalam perjalanan dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Industri pariwisata harus berkolaborasi dengan pemerintah, organisasi, dan individu untuk mengembangkan dan menerapkan strategi yang efektif untuk mengurangi emisi karbon. Hal ini dapat melibatkan investasi dalam sumber energi terbarukan, mempromosikan pilihan transportasi yang berkelanjutan, dan mengedukasi wisatawan tentang pentingnya membuat pilihan yang berkelanjutan.