Apakah Netanyahu Dapat Diadili Sebagai Penjahat Perang?

Tidak mudah untuk menangkap dan mengadili Netanyahu di ICC

AP Photo/Abir Sultan
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu penjahat perang
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam reaksi pertama sejak meningkatnya perang di Gaza, kantor kejaksaan mengingatkan bahwa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah melakukan penyelidikan terhadap situasi di negara Palestina atas dugaan kejahatan perang yang dilakukan sejak 13 Juni 2014. Mandat jaksa ICC berlaku untuk konflik saat ini antara Israel dan Palestina.

“Mandat ini terus berjalan dan berlaku untuk kejahatan yang dilakukan dalam konteks saat ini,” kata jaksa penuntut, seraya menambahkan bahwa mereka terus mengumpulkan informasi untuk mendukung penyelidikan tersebut.

Pemerintah Palestina bergabung dengan ICC pada 2015. Statuta pendirian ICC memberikan yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di wilayah 123 negara anggotanya atau oleh warga negara mereka di wilayah lain.

Perang antara Israel dan pejuang Palestina yang meletus pada 7 Oktober 2023 telah menyebabkan banyak korban jiwa warga sipil dan tuduhan kejahatan perang. Konflik Palestina-Israel berada di bawah sistem peradilan internasional yang kompleks. Bahkan jika negara-negara mengatakan bahwa mereka bertindak untuk membela diri, peraturan internasional mengenai konflik bersenjata berlaku untuk semua pihak yang terlibat dalam perang. 

Aturan konflik bersenjata yang diterima secara internasional muncul dari Konvensi Jenewa tahun 1949, yang telah diratifikasi oleh semua negara anggota PBB dan dilengkapi dengan keputusan pengadilan kejahatan perang internasional. Serangkaian perjanjian mengatur perlakuan terhadap warga sipil, tentara, dan tawanan perang dalam sistem yang secara kolektif dikenal sebagai "Hukum Konflik Bersenjata" atau "Hukum Humaniter Internasional". Hal ini berlaku bagi pasukan pemerintah dan kelompok bersenjata non-negara yang terorganisasi, termasuk pejuang Hamas.

Human Rights Watch yang bermarkas di New York menyebut kemungkinan kejahatan perang adalah penargetan yang disengaja terhadap warga sipil, serangan roket tanpa pandang bulu, dan penyanderaan warga sipil oleh kelompok bersenjata Palestina, serta serangan balasan Israel di Gaza yang telah menyebabkan ribuan warga Palestina meninggal dunia.

Penyanderaan, pembunuhan dan penyiksaan secara eksplisit dilarang berdasarkan Konvensi Jenewa. Sementara pengeboman Israel di Jalur Gaza dapat dikenakan penyelidikan kejahatan perang.

Ada sebuah aturan yang dapat menjadi indikator objektif dalam masa perang yaitu Konvensi Jenewa. Tujuan utama konvensi ini adalah untuk melindungi warga sipil di masa perang. Berdasarkan hukum konflik bersenjata, kombatan mencakup anggota angkatan bersenjata negara, pasukan militer dan sukarelawan, serta kelompok bersenjata non-negara dilarang keras menargetkan warga sipil atau objek sipil secara langsung. Selain itu, menyerang personel dan material yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan dengan sengaja merupakan kejahatan perang, selama yang memberikan bantuan kemanusiaan adalah warga sipil.

Pengepungan dapat dianggap sebagai kejahatan perang jika menargetkan warga sipil dan bukan merupakan cara yang sah untuk melemahkan kemampuan militer, atau jika dianggap tidak proporsional. Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional, Karim Khan, telah memperingatkan tentara Israel, mereka harus menunjukkan bukti bahwa, setiap serangan mereka tidak berdampak pada warga sipil tak berdosa atau objek yang dilindungi, seperti rumah sakit, gereja, sekolah, atau masjid harus dilakukan sesuai dengan hukum konflik bersenjata. Berdasarkan konvensi ini, ada beberapa contoh di mana objek sipil dapat menjadi sasaran militer yang sah jika objek tersebut digunakan untuk berkontribusi secara efektif pada aksi militer. 

“Beban untuk membuktikan bahwa status perlindungan telah hilang, ada pada mereka yang menembakkan senjata, rudal, atau roket tersebut,” kata Khan.

Israel mengatakan pejuang Hamas menggunakan lingkungan pemukiman sebagai perlindungan dan bangunan sipil untuk menyembunyikan pos komando dan senjata. Sekalipun seorang kombatan menyerang sasaran militer yang sah, serangan apa pun harus proporsional. Dengan demikian, serangan tersebut tidak boleh menyebabkan hilangnya banyak nyawa warga sipil atau kerusakan pada objek sipil.

Konvensi Jenewa dan keputusan pengadilan internasional menunjukkan bahwa proporsionalitas bukanlah permainan angka di mana jumlah korban sipil di satu pihak dapat dibandingkan dengan pihak lain, melainkan korban tersebut harus proporsional dengan keuntungan militer langsung dan nyata yang diharapkan dari pihak yang menyerang tersebut. 

Lembaga pertama mengadili dugaan kejahatan perang adalah yurisdiksi lokal, dalam hal ini pengadilan di Israel dan wilayah Palestina. Jika warga Palestina melakukan kejahatan di wilayah pendudukan Palestina dan tidak diadili di dalam negeri, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag adalah satu-satunya badan hukum internasional yang dapat mengajukan tuntutan. Statuta Roma yang merupakan pendiri ICC memberikan kewenangan hukum untuk menyelidiki dugaan kejahatan di wilayah negara-negara anggotanya atau yang dilakukan oleh warga negara mereka, ketika otoritas dalam negeri “tidak mau atau tidak mampu” melakukan hal tersebut.

Baca Juga


Tidak mudah untuk menangkap dan mengadili Netanyahu di ICC.... 

 

Pakar hukum internasional Universitas Indonesia Arie Afriansyah mengatakan, pengadilan internasional tidak lepas dari politik. Ada negara yang menganggap Israel tidak melanggar hukum karena membela diri. Ada juga negara yang dengan tegas mengatakan bahwa Israel telah melanggar hukum internasional. 

Arie menjelaskan bahwa tidak mudah membawa seseorang yang terlibat dalam kejahatan internasional untuk diadili di ICC. Ada sejumlah prosedur atau birokrasi yang harus ditempuh sebelumnya. Dalam kasus serangan Israel ke Gaza, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dapat dianggap bersalah dan bertanggung jawab atas kejahatan perang. Namun, tidak mudah untuk menangkap dan mengadili Netanyahu di ICC.

“Banyak sekali birokrasi yang harus dilalui untuk membawa seseorang ke ICC, pertama, apakah kejahatan yang dilakukan itu adalah kejahatan internasional, kedua, apakah negara asal orang tersebut mau dan mampu memprosekusi orang tersebut. Dalam hal ini Israel tidak mau dan mampu menghukum Netanyahu karena dia adalah pemimpin negara,” ujar Arie kepada Republika.co.id

Kemudian harus ditinjau juga apakah ICC mempunyai yuridiksi atas negara yang bersangkutan. Tahap lainnya, harus ada keputusan dari Dewan Kemanan PBB bahwa kasus yang menjerat individu ini bisa dilakukan oleh jaksa penuntut ICC.

“Jadi, ada endorsement dari Dewan Kemanan PBB. Pertanyaan apakah Dewan Keamanan PBB bisa membuat resolusi bahwa ICC bisa memproses kejahatan Netanyahu, itu sangat tidak mungkin karena ada Amerika Serikat. Tentu saja Amerika Serikat akan memblok,” kata Arie.

Ketika sudah tidak ada lagi upaya, maka satu-satunya jalan adalah melalui Majelis Umum PBB. Namun, resolusi majelis umum tidak terikat. Sejauh ini, tidak ada negara yang berani berhadapan langsung dengan Israel. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler