4 dari 10 Anak Perempuan di Indonesia Alami Kekerasan

Kasus kekerasan pada anak di Indonesia seperti fenomena puncak gunung es.

Republika On Line/Mardiah diah
Kekerasan pada anak (ilustrasi). Sebanyak empat dari sepuluh anak perempuan dan tiga dari sepuluh anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, psikis, atau seksual.
Rep: Meiliza Laveda Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan anak hingga saat ini merupakan isu serius yang masih terjadi dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Pribudiarta Nur Sitepu, mengatakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tiga tahun melakukan survei nasional.

Baca Juga


Data dari survei pada 2021 dan 2018 menunjukkan tren penurunan jumlah kasus kekerasan anak. Namun, secara keseluruhan angkanya masih mencapai puluhan juta.

"Kasus kekerasan pada anak yang terlihat selama ini seperti fenomena puncak gunung es, secara keseluruhan masalah kekerasan anak di Indonesia tak muncul ke permukaan," kata Pribudiarta dalam keterangannya di Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema "Negara Hadir Atasi Darurat Kekerasan Anak", Senin (13/11/2023).

Dalam data 2021, terungkap empat dari sepuluh anak perempuan dan tiga dari sepuluh anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, psikis, atau seksual. Selain itu, pelaku kekerasan sering kali adalah orang-orang yang dikenal, termasuk orang tua sendiri. 

Survei juga mengidentifikasi faktor-faktor seperti kemiskinan, ketidaksetaraan sosial dan ketidakmampuan dalam mengasuh sebagai pendorong utama. Pandemi Covid-19 juga diidentifikasi sebagai pemicu tambahan karena orang tua dipaksa menjadi guru selama periode pembelajaran jarak jauh, menambah tekanan pada dinamika keluarga.

“Faktor kesehatan mental juga menjadi isu yang semakin mencuat, menambah kompleksitas masalah kekerasan anak,” ujar dia.

Untuk mengatasi masalah ini, Kemendikbudristek mengatakan peran orang tua dan pola asuh bisa menjadi kunci mitigasi kekerasan terhadap anak. "Peran orang tua dan pola asuh sangat penting. Saat ini parenting menjadi pekerjaan besar, di tengah isu perceraian yang tinggi, beban ekonomi, hingga tingkat pendidikan orang tua yang rendah," kata Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana.

Menurut dia, fokus mitigasi kasus kekerasan anak seharusnya ada pada peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua perlu memberikan pendidikan karakter kepada anak sejak dini. Ini bertujuan agar anak mampu menghargai diri sendiri dan orang lain serta tidak melakukan kekerasan. Pada saat yang bersamaan, orang tua juga harus menjadi role model bagi anak-anaknya.

Hal ini dilakukan dengan menunjukkan perilaku baik, tidak melakukan kekerasan baik secara fisik maupun verbal. Sebab, jika orang tua sudah melakukan kekerasan, ini akan membuat anak menganggapnya sebagai hal yang wajar.

"Orang tua sebagai produk masa lalu memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak," kata dia.

Di sisi lain, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menyoroti peran orang tua dan pola asuh pada kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak. Dari survei KPAI, hanya sekitar 23 persen orang tua yang pernah mendapatkan pendidikan parenting.

“Angka ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam persiapan orang tua dalam menghadapi peran penting mereka,” ujarnya.

Meskipun angka kekerasan menurun, prevalensi meningkat. Ini menunjukkan upaya kolaboratif dan holistik diperlukan. Oleh karena itu, Ai menekankan pentingnya kanal pengaduan yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler