Para Ahli Sebut Transformasi Sistem Pertanian Jadi Solusi Iklim Signifikan

Produksi pertanian di Asia menjadi sumber utama dari emisi gas rumah kaca.

Pxhere
Transformasi sistem pertanian dan pangan dinilai menjadi solusi iklim yang signifikan.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem agrifood yang inklusif dan tangguh diperlukan di wilayah terpadat di dunia jika tujuan iklim global ingin diwujudkan, demikian laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada penutupan Asia-Pacific Climate Week. Ini merupakan sebuah pendahuluan regional yang besar untuk konferensi iklim global PBB mendatang, COP28, di Dubai akhir bulan ini.

Baca Juga


Asia-Pacific Climate Week (APCW) mempertemukan lebih dari seribu ahli di kota Johor Bahru, Malaysia, untuk mendiskusikan berbagai macam isu terkait iklim, mulai dari kenaikan suhu global, emisi gas rumah kaca, hingga isu-isu terkait krisis air, kekeringan, banjir, serta deforestasi regional. Kebutuhan untuk mentransformasi sistem pertanian pangan Asia dan Pasifik juga menjadi agenda utama, karena hal tersebut dinilai krusial guna mengantisipasi krisis iklim dengan lebih baik, serta meminimalkan risiko di masa depan melalui mitigasi dan adaptasi.

Para ahli yang berembuk di APCW percaya bahwa transformasi sistem pertanian dan pangan merupakan solusi iklim yang signifikan. Pasalnya, produksi pertanian di Asia merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca, dengan penanaman padi, penggunaan pupuk sintetis, pembakaran sisa tanaman, dan pengelolaan pupuk kandang yang merupakan sumber utama di berbagai negara di kawasan ini.

Laporan FAO State of Food and Agriculture 2023 (SOFA), menemukan bahwa lebih dari 10 triliun dolar AS hilang setiap tahunnya dalam bentuk biaya tersembunyi yang berkaitan dengan sistem pertanian dunia, dengan seperlima dari biaya tersebut merupakan biaya lingkungan. 

“Biaya tersembunyi lingkungan, meskipun tidak lengkap, merupakan lebih dari 20 persen dari biaya tersembunyi yang dikuantifikasi dan setara dengan hampir sepertiga dari nilai tambah pertanian. Biaya-biaya ini sebagian besar terkait dengan emisi gas rumah kaca dan nitrogen dan relevan di semua kelompok pendapatan negara," demikian menurut laporan SOFA, seperti dilansir Scoop, Senin (20/11/2023). 

Pejabat Sumber Daya Alam FAO, yang berpartisipasi dalam APCW, Beau Damen, mengatakan bahwa sektor pertanian dan agrifood Asia Pasifik menghadapi tantangan yang berbeda di masa depan akibat perubahan iklim. Di masa lalu, investasi dalam infrastruktur pedesaan, layanan penyuluhan, dan praktik agronomi yang berkelanjutan, dapat mencegah risiko terhadap sistem agrifood dan ketahanan pangan dari perubahan iklim. 

“Tapi sekarang kita memiliki kesempatan yang kecil untuk meluncurkan generasi berikutnya dari pengaturan kelembagaan inklusif dan investasi yang diperlukan untuk mengubah sistem agrifood dengan cara yang dapat menyediakan makanan bergizi bagi ratusan juta orang di Asia dan Pasifik, sekaligus mengurangi peran yang dimainkannya dalam mendorong krisis iklim," tambah Damen.

Negara-negara anggota yang berpartisipasi dalam acara tersebut menyoroti inisiatif nasional untuk bergerak menuju pendekatan sistem, termasuk penggunaan pandangan ke depan dalam mengembangkan strategi jangka panjang untuk pembangunan rendah emisi, adopsi pendekatan berbasis alam, dan ekosistem serta penggunaan sistem peringatan dini untuk mempersiapkan tanggapan antisipatif terhadap peristiwa ekstrem yang disebabkan oleh iklim.

FAO dan pihak-pihak lain yang hadir dalam acara tersebut juga menyoroti bahwa tindakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap sistem pertanian pangan akan memberikan manfaat yang lebih luas. Penghentian deforestasi berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 11 persen per tahun, dan juga melindungi sebagian besar keanekaragaman hayati di Bumi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler