Lentera Anak: Anak Indonesia Belum Bebas Sepenuhnya dari Belenggu Rokok
Indonesia sudah 34 tahun meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) selama 34 tahun, Lentera Anak menilai anak-anak di Indonesia masih belum sepenuhnya terbebas dari belenggu asap rokok.
KHA diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 1989. Hari bersejarah ini diperingati sebagai Hari Anak Sedunia pada setiap 20 November. Indonesia telah meratifikasi KHA pada 26 Januari 1990, yang disahkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990.
Dalam kurun waktu 34 tahun meratifikasi KHA, Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia Lisda Sundari mengatakan, Indonesia sudah berhasil memasukkan isu perlindungan anak dalam berbagai peraturan dan undang-undang. Beragam peraturan dan undang-undang tersebut hadir sebagai upaya dasar untuk memenuhi hak anak dan perlindungan anak.
Sebagai contoh, Indonesia telah menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, kembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi melalui Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Indonesia juga telah menerbitkan UU Perlindungan Anak dan UU Perkawinan yang menetapkan usia perkawinan adalah 19 tahun.
Di sisi lain, Lisda menilai anak-anak di Indonesia belum sepenuhnya dapat menikmati lingkungan yang sehat dan terbebas dari asap rokok dan paparan iklan rokok. Selain itu, anak-anak di Indonesia juga belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan dari kemudahan akses terhadap rokok.
Tak sedikit pula anak-anak di Indonesia yang sejak awal kehidupannya sudah terdampak oleh asap rokok di rumah. Mengacu pada penelitian dari Universitas Indonesia dan Imperial College London Inggris, prevalensi perokok pasif di dalam rumah di Indonesia mencapai 78,4 persen.
Angka tersebut relatif jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di Asia. Sebagai perbandingan, prevalensi perokok pasif di dalam rumah di Cina adalah 48,3 persen, di Bangladesh 46,7 persen, dan di Thailand 46,8 persen.
Selain di rumah, asap rokok juga kerap mengepung anak-anak di berbagai ruang publik. Berdasarkan data GYTS-WHO 2019, sekitar 67 persen anak-anak terpapar asap rokok di tempat umum, dan 59 persen terpapar di sekolah.
Bahkan, bahaya rokok juga bisa mengintai anak-anak sejak mereka masih di dalam kandungan. Ibu hamil yang terpapar asap rokok dan merokok selama kehamilan cenderung berisiko lebih tinggi terhadap komplikasi seperti keguguran dan kelahiran prematur.
Riwayat paparan asap rokok atau merokok selama kehamilan juga merupakan faktor risiko bagi sindrom kematian bayi mendadak. Tak hanya itu, riwayat paparan asap rokok ini juga dapat memicu penyakit pernapasan, infeksi telinga, hingga risiko kematian mendadak pada anak-anak dan remaja.
Menurut Lisda, berbagai situasi ini jelas bertentangan dengan sejumlah pasal dalam KHA. Sebagian dari pasal tersebut adalah Pasal 24 tentang hak kesehatan tertinggi dan Pasal 6 KHA tentang hak atas kehidupan. Beberapa pasal lainnya adalah Pasal 17 tentang perlindungan dari informasi yang membahayakan kesejahteraan dan Pasal 3 tentang kepentingan terbaik bagi anak.
Lisda juga mengingatkan bahwa pasal 36 KHA mewajibkan negara untuk melindungi anak dari segala kegiatan yang mengambil keuntungan dari mereka atau dapat membahayakan kesejahteraan dan perkembangan mereka. Hanya saja, fakta menunjukkan bahwa anak Indonesia masih belum terlindungi sepenuhnya dari paparan asap rokok dan pemasaran industri tembakau.
"Informasi dan materi iklan rokok membahayakan kesejahteraan anak dan melanggar hak kesehatan, karena dokumen industri rokok sudah mengakui bahwa iklan, promosi, serta sponsor rokok dalam berbagai acara musik, film, dan olahraga, memang ditujukan untuk menarik perhatian dan mempengaruhi kaum muda merokok, tanpa mereka sadari," kata Lisda, seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Republika.co.id pada Senin (20/11/23).