Tenang Melayani Jamaah Haji di Tanah Suci

Petugas haji tak luput dari risiko pekerjaan saat melayani jamaah.

Muhammad Hafil / Republika
Petugas haji Indonesia bidang kesehatan saat menangani jamaah yang sakit saat mabit di tenda Mina, Makkah, Arab Saudi.
Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Muhammad Hafil/Wartawan Republika.co.id

 

Suhu di siang hari saat ritual puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna) di Kota Makkah, Arab Saudi pada 9-13 Dzulhijah 1444 Hijriyah atau pada Rabu 28 Juni 2023-2 Juli 2023 mencapai 48 derajat Celsius. Banyak jamaah haji yang keletihan bahkan hingga sakit dan mendapat penanganan medis.

Baca Juga



Tercatat selama puncak haji yang berlangsung selama empat hari itu, ada 50 orang jamaah yang meninggal. Penyebab utama yang menyebabkan mereka meninggal adalah sakit jantung, gangguan saluran pernapasan, dan heat stroke.

Mereka yang meninggal umumnya adalah lansia. Dengan keterbatasan fisik, mereka tetap diwajibkan untuk melaksanakan sejumlah ritual seperti wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, lempar jumrah yang mengharuskan jalan kaki sejauh lima kilometer, hingga tawaf dan sa'i di Masjidil Haram.

Kondisi seperti itu tak serta merta memberi toleransi kepada para petugas haji yang bertugas melayani jamaah. Mereka tetap harus bergerak membantu dan melayani jamaah agar rangkaian ibadah haji yang dilakukan jamaah sah dan sempurna.

"Karena bagaimana pun petugas haji harus melayani jamaah 24 jam, apalagi saat masa puncak haji," kata Retno Murniati SST, salah satu petugas haji bidang Kesehatan di Klinik Kesehatan Haji (KKHI) Makkah kepada Republika.co.id, Senin (27/11/2023) saat menceritakan pengalamanya.

Para petugas haji memang bertugas untuk melayani jamaah selama masa operasional haji sejak 23 Mei 2023-3 Agustus 2023 atau hampir tiga bulan. Mereka bekerja setiap hari namun dibagi per shift setiap harinya. Tapi, tidak jika saat puncak haji yang berlangsung selama 4 hari itu, petugas siaga 24 jam.

"Tapi meskipun kita tidak sedang dalam shift, kita tetap bertanggung jawab terhadap pelayanan kepada jamaah haji," ujar Retno yang berprofesi sebagai perawat itu.

Misalnya, ketika sedang tidak bertugas, jika ada keadaan darurat di mana jamaah membutuhkan pertolongan, maka petugas haji yang sedang off wajib membantu jika dibutuhkan. Atau, ketika petugas sedang keluar pemondokan atau KKHI, wajib mengenakan seragam petugas haji.

"Dengan tujuan jika jamaah haji melihat kita di jalanan atau di masjid, jika mereka meminta pertolongan kita wajib membantu," ujar Retno.

Retno sadar, dengan kondisi di Tanah Suci itu, terutama saat puncak haji, pekerjaannya rentan akan risiko. Seperti risiko kelelahan, penyakit menular, kecelakaan, dan lain sebagainya. Apalagi, tinggal di Tanah Suci yang hampir tiga bulan itu selama bertugas, menghadapi perbedaan cuaca, budaya, aturan, dan berkumpulnya hampir tiga juta orang dari berbagai negara selama musim haji .

Namun, dia mengaku tenang ketika bertugas karena adanya jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) bagi petugas haji. Jaminan ini diberikan atas dasar kesepakatan antara Kementerian Agama (Kemenag) selaku penyelenggara haji Indonesia dan BPJS Ketenagakerjaan. 

"Kita mengucapkan terima kasih sudah mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. Jujur saja ini membuat kita tenang dalam bertugas melayani jamaah," kata Retno.

"Bagaimana pun, kita menjalani tugas negara. Kita mewakili nama bangsa Indonesia di Tanah Suci," kata Retno.

Hal yang sama dirasakan oleh Agung Sasongko, petugas haji 2023 yang bertugas di Daerah Kerja (Daker) Madinah. Bertugas sebagai sebagai pelaksana Media Center Haji (MCH), mengharuskannya wara-wiri setiap hari meliput kegiatan haji. Baik itu di Masjid Nabawi, ke pemondokan, hingga ke tempat-tempat ziarah.

"Meski tugas kita meliput, tapi tetap tugas melayani jamaah haji tak bisa ditinggalkan," kata Agung kepada Republika.co.id pada Rabu (15/11/2023) lalu.

"Khususnya saat puncak haji. Kita berpencar untuk membantu melayani jamaah. Terkadang kita harus mencari jamaah yang nyasar dan mengembalikannya ke tenda," ujar Agung.

Menurut Agung, pelayanan itu bukannya tanpa risiko. Apalagi, jika harus berdesak-desakan saat lempar jumroh bersama banyak jamaah haji dari negara-negara lain.

"Terkadang ada rasa kepikiran juga tragedi-tragedi saat di terowongan Mina. Di mana jamaah berdesak-desakan bertumpuk saat akan dan kembali dari tugu lempar jumroh," ujar Agung.

Karena itu, kata Agung, dengan adanya jaminan perlindungan berupa JKK dan JKM dari BPJS Ketenagakerjaan selama dia bertugas di Tanah Suci, membuat dia selama bekerja lebih tenang.

"Karena kita kan hanya berusaha untuk selamat dan bekerja dengan aman. Tapi kan kita tidak tahu risiko apa yang tiba-tiba saja bisa muncul saat bertugas di Tanah Suci," kata Agung.

Untuk diketahui, berdasarkan UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, definisi petugas haji adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri. Tugas pokok petugas haji adalah melakukan pembinaan, pelayanan dan pelindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi.

Ada berapa Jenis Petugas haji yang ditempatkan menurut tugas dan fungsinya:

Petugas yang menyertai jamaah

Yaitu petugas yang ditugaskan melayani dan membimbing jamaah dalam satu kelompok terbang (Kloter) sejak dari embarkasi sampai ke debarkasi tanah air.

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji

Selain petugas yang menyertai Jamaah, ada lagi Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan perhajian baik di Pusat, Arab Saudi maupun Embarkasi.

Mengenai masa tugas para petugas haji ini, disesuaikan dengan penempatan mereka,  Petugas yang menyertai jamaah (petugas kloter) ditugaskan selama 41 hari, sedangkan PPIH Arab Saudi Daker Jeddah dan Madinah 76 hari, Daker Makkah 66 hari.

Petugas Embarkasi ditempatkan pada embarkasi masing-masing dan bertugas selama  operasional penerbangan haji adalah 30 hari pada masa pemberangkatan dan 30 hari pada masa pemulangan.

Pada musim haji 2023 ini, total keseluruhan petugas haji berjumlah 4.600 orang. Dan, semuanya mendapatkan perlindungan JKK dan JKM dari BPJS Ketenagakerjaan.

Meninggal saat melayani jamaah

Dengan kondisi operasional penyelenggaraan haji di Tanah Suci yang menuntut banyak gerakan fisik, semua petugas haji diwajibkan mematuhi tandar operasional prosedur (SOP) saat bertugas. Di antaranya seperti wajib mengenakan alat pelindung diri (APD), konsumsi nutrisi yang baik selama bertugas, istirahat, namun risiko pekerjaan selalu tetap ada, bahkan hingga berujung kematian.

Hal inilah yang dialami oleh Ahmad Ridlo (Saat meninggal 53 tahun), yang merupakan petugas haji yang bertugas menjadi anggota Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIH) untuk Kloter 73 Embarkasi Solo (SOC 73). Dia meninggal saat pelaksanan puncak haji di Mina pada 30 Juni 2023 di jalur menuju lempar Jumroh.

"Setelah mengantar jamaah haji dengan berjalan kaki, almarhum merasa badannya sakit, kemudian sempat terduduk, dan akhirnya meninggal dunia," ujar Dirjen Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh Kemenag Hilman Latief saat menceritakan kronologi meninggalnya Ahmad Ridlo di acara pemberian santunan kepada ahli waris Ahmad Ridlo di kantor Kemenag di Jakarta pada 15 Agustus 2023 lalu.

Hilman memaklumi waktu paling penting saat operasional haji adalah saat puncak haji di mana para petugas mengemban tugas yang sangat berat. Kurang istirahat, banyak jalan kaki di saat cuaca sangat panas, harus dilakoni petugas saat melayani jamaah. Situasi ini harus dihadapi petugas untuk memastikan ritual ibadah haji jamaah sah dan sesuai aturan agama.

Penyerahan santunan jaminan kematian dari BPJS Ketenagakerjaan yang diserahkan oleh Menteri Agama ke ahli waris Ahmad Ridlo, petugas haji 2023 yang meninggal saat bertugas. - (Dok Republika)

 

Karena meninggal ketika sedang bertugas, ahli waris yakni keluarga Ahmad Ridlo mendapatkan JKK sebesar Rp 182,5 juta.
Adapun rinciannya yakni santunan Jaminan Kecelakaan Kerja Meninggal Dunia sebesar Rp 118 juta dan Manfaat Beasiswa senilai Rp 64,5 juta untuk biaya pendidikan hingga jenjang sarjana bagi anak Ahmad Ridlo.

"Manfaat perlindungan yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan tersebut menjadi simbol penghormatan bagi almarhum atas segala jasa-jasanya sebagai petugas haji," ujar Menag Yaqut Cholil Qoumas saat memberi santunan secara simbolis kepada istri Ahmad Ridlo yakni Khanatus Sa'diah (35 tahun) dan anaknya Ahmad Syafiq (13).

“Kami semua menyadari bahwa menjadi petugas tidak mudah apalagi kemarin jamaah haji kita didominasi oleh jamaah lansia, kurang lebih 60 ribu jamaah, sehingga coverage yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan ini tentu akan sangat bermakna buat teman-teman yang kemarin bertugas,” tambah Menag Yaqut.

Khanatus Sa'diah, meski tak berbicara secara resmi dalam forum tersebut, mengucapkan terima kasih kepada pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan atas santunan yang diberikan. Sedangkan sang anak, Ahmad Syafiq terlihat mencium tangan Menag Yaqut.

Sementara, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo, mengatakan, santunan ini sebagai bentuk kehadiran negara bagi para pekerja termasuk para petugas haji yang telah mendedikasikan diri untuk melayani para jamaah haji di tanah suci. Oleh karena itu, perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi hal yang wajib dimiliki para pekerja.

"Tentu sebesar apa pun manfaat ini, tidak akan pernah bisa menggantikan kehadiran almarhum (Ahmad Ridlo) di tengah-tengah keluarga. Namun, setidaknya almarhum telah meninggalkan bekal bagi istri dan anaknya untuk bisa melanjutkan kehidupan dengan layak dan meneruskan pendidikan hingga lulus kuliah," kata Anggoro.

Anggoro mengatakan, peristiwa meninggalnya petugas haji ini diharapkan mampu mengetuk hati para pemberi kerja bahwa terdapat risiko yang dihadapi oleh tenaga kerjanya. Oleh karena itu, perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi hal yang wajib dimiliki para pekerja.



 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler