Galon Polikarbonat Aman Digunakan Berulang, Ini Penjelasannya
Galon polikarbonat ini dibuat dengan Bisphenol A atau BPA yang direaksikan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat Indonesia sempat dihebohkan dengan bahaya penggunaan galon polikarbonat. Namun, pakar polimer Laboratorium Teknologi Polimer dan Membran ITB, Ir Akhmad Zainal Abidin mengatakan, itu hanyalah penjelasan berdasarkan prasangka dan ditegaskan bahwa galon polikarbonat itu aman digunakan berulang.
“Kalau ditanya saya pakai galon apa, saya bilang pakai polikarbonat. Karena ilmuwan tidak terefek dengan rumor seperti itu, kami bicara dengan bukti ilmiah,” ungkap Zainal dalam diskusi bertema ‘How to Understand BPA Information Correctly’ yang diadakan oleh Anguis Institute for Health Education bersama Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (LR-IDI) di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Dalam pemaparannya, Zainal menjelaskan galon polikarbonat ini dibuat dengan Bisphenol A atau BPA yang direaksikan. Pada waktu reaksi itu, ada yang belum bereaksi atau zat tersisa, di mana itu terjepit di dalam galon yang disebut berbahaya.
Tetapi pada kenyataannya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menetapkan ambang batas kandungan BPA yang aman, yakni 0,6 mg/kg (ppm). Galon polikarbonat yang baru selesai dibuat memiliki kandungan BPA tertinggi, tapi masih dalam batas aman.
Justru, ketika galon sudah sering digunakan, kandungan BPA-nya sudah berkurang jauh sehingga tidak ada bahaya sama sekali. “Kalau sedikit nggak masalah, kalau kadar tepat bisa menjadi semacam obat, tapi kalau terlalu banyak baru bisa menimbulkan masalah dan penyakit, cuma bukan penyakit mematikan,” ungkap Zainal.
Yang juga menjadi perbincangan adalah soal degradasi karena paparan sinar matahari, sehingga membuat galon polikarbonat berbahaya. Tetapi faktanya, polikarbonat baru berbahaya ketika terpapar suhu 500 derajat celsius, artinya panas matahari masih aman jika menyinari galon polikarbonat dan tidak menyebabkan degradasi.
Zainal juga membicarakan tentang klaim BPA Free yang keliru pada botol-botol plastik berbahan Polietilena Tereftalat atau PET. Klaim BPA Free tidak cocok untuk botol-botol berbahan PET, lantaran itu memang dalam proses pembuatannya tidak menggunakan BPA. “Kalau ngomong BPA Free itu bagus, tapi kalau ada galon berbahan PET ditulis BPA Free, itu nggak cocok,” ujar dia.
Begitu pula menyoal penyakit yang timbul akibat konsumsi BPA, ini masih perlu diteliti lebih lanjut. Zainal menegaskan, masih banyak yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan penelitian, harus diperhatikan seberapa banyak kasusnya hingga kondisi tubuh masyarakatnya.
Karena kondisi tubuh masyarakat Indonesia, akan berbeda dengan tubuh orang-orang Eropa. Misalnya, di Eropa pernah dilarang memakan telur ceplok karena mengandung bakteri Salmonella, tetapi di Indonesia justru dianjurkan, ini mengindikasikan bahwa ketahanan tubuh tiap ras itu berbeda.
“Prof kedokteran Jepang dalam satu jurnal ilmiah, mengatakan BPA memang bahan berbahaya tapi bukan mematikan. Itu yang menimbulkan kecemasan, dan kecemasan berlebihan tidak baik karena justru itu menimbulkan penyakit. Banyak bahan kimia lebih besar yang benar-benar mematikan,” ungkap Zainal.