Emisi Karbon Dioksida dari Bahan Bakar Fosil Capai Rekor Tertinggi di 2023

Emisi karbon bahan bakar fosil capai 36,8 miliar metrik ton di 2023.

Freepik
Emisi tersebut diproyeksikan mencapai 36,8 miliar metrik ton pada tahun 2023, meningkat 1,1 persen dari tahun 2022.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Nora Azizah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Emisi karbon dioksida dari bahan bakar fosil akan mencapai rekor tertinggi pada akhir tahun 2023, menurut laporan Carbon Budget Report. Di seluruh dunia, emisi tersebut diproyeksikan mencapai 36,8 miliar metrik ton pada tahun 2023, meningkat 1,1 persen dari tahun 2022. 

Baca Juga


Namun, ironisnya, laporan baru lainnya menunjukkan betapa minimnya kemampuan teknologi penyerapan karbon dalam menghilangkan gas rumah kaca dari atmosfer.

"Telah ada kemajuan besar dalam mengurangi emisi di beberapa negara, namun hal ini belum cukup. Kita secara drastis keluar dari jalur," ujar Mike O'Sullivan, seorang dosen di University of Exeter dan salah satu peneliti studi, seperti dilansir MIT Technology, Kamis (7/12/2023).

Emisi Eropa turun sekitar 7 persen dari tahun lalu, sementara Amerika Serikat mengalami penurunan 3 persen. Namun secara keseluruhan, emisi batu bara, minyak, dan gas alam masih terus meningkat, dan negara-negara termasuk India dan China masih mengalami pertumbuhan emisi. Kedua negara tersebut, saat ini juga menyumbang hampir 40 persen emisi bahan bakar fosil global, meskipun negara-negara Barat termasuk AS masih menjadi penghasil emisi terbesar dalam sejarah.

Teknologi penghapusan karbon (carbon dioxide reoval/CDR) yang sering kali disebut-sebut sebagai solusi untuk masalah emisi, pada kenyataannya masih memiliki keterbatasan. Misalnya, jumlah karbon dioksida yang diserap hingga saat ini masih sangat kecil. Teknologi direct air capture dan pendekatan teknologi lainnya juga hanya mengumpulkan dan menyimpan sekitar 10 ribu metrik ton karbon dioksida pada tahun 2023.

Itu berarti, secara total, emisi dari bahan bakar fosil jutaan kali lebih tinggi daripada tingkat penyerapan karbon tahun ini.

“Rasio itu menunjukkan bahwa sangat mustahil bagi teknologi penghilangan karbon untuk menyeimbangkan emisi. Kita tidak dapat mengimbangi jalan keluar dari masalah ini,” kata O'Sullivan.

Laporan tersebut juga mengungkap bahwa upaya untuk menyerap karbon dari atmosfer dengan metode berbasis alam seperti reboisasi dan aforestasi, menyumbang lebih banyak penghapusan emisi dibandingkan dengan teknologi. Namun upaya-upaya tersebut juga dinilai tak terlalu menggembirakan, karena laju deforestasi masih lebih tinggi.

"Satu-satunya cara untuk mengatasi krisis ini adalah dengan perubahan besar pada industri bahan bakar fosil. Teknologi seperti penghilangan karbon hanya akan menjadi penting jika emisi juga dikurangi secara drastic,” kata O'Sullivan.

Akan tetapi, PBB masih optimistis bahwa dalam waktu dekat akan semakin banyak alat dan teknologi yang tersedia untuk membuat lebih banyak kemajuan dalam hal penyerapan emisi. Beberapa solusi yang diharapkan isa mengurangi emisi hingga separuhnya pada tahun 2030 termasuk energi terbarukan seperti angin dan matahari, pencegahan deforestasi dan mengurangi kebocoran metana, serta peningkatan efisiensi energi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler