Perubahan Iklim Berdampak Pada Pertanian, Ini Langkah Mitigasi yang Harus Dilakukan
Perubahan iklim berdampak pada penurunan produksi padi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa perubahan iklim berdampak pada penurunan produksi tanaman pangan khususnya padi, dengan potensi kerugian ekonomi di sektor pertanian periode 2020-2024 mencapai Rp 77,9 triliun. Atas hal itulah, upaya antisipasi dan mitigasi iklim di sektor pertanian menjadi sangat krusial.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menjelaskan bahwa adaptasi perubahan iklim merupakan salah satu upaya merespon dampak dari fenomena perubahan iklim global. Konsep adaptasi dapat diartikan sebagai usaha-usaha mengantisipasi dampak yang diperkirakan akan terjadi dan meminimalisir efek buruknya bagi ekosistem maupun aktivitas manusia, khususnya terkait mata pencaharian dan kegiatan ekonomi.
“Sektor pertanian sebagai salah satu sektor kehidupan yang paling utama di Indonesia merupakan salah satu objek utama dari kerangka adaptasi perubahan iklim,” kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (7/12/2023).
BMKG berperan sebagai penyedia informasi di sisi hulu dari rangkaian penyediaan informasi publik dan khusus untuk antisipasi isu perubahan iklim. Menurut Ardhasena, beberapa produk informasi standar seperti prakiraan awal, puncak, dan durasi musim hujan (dan kemarau) selalu diinformasikan secara rutin dan insidentil pada stakeholder pertanian terkait.
BMKG melalui Kedeputian Klimatologi juga menyediakan peringatan dini (early warning) untuk potensi curah hujan tinggi dan potensi kekeringan, serta secara rutin menyediakan informasi publik berupa prakiraan curah hujan dalam jangka waktu menengah (10 harian hingga bulanan) untuk memberikan gambaran prospek iklim, khususnya terkait fase-fase kegiatan pertanian seperti tanam, tumbuh, dan panen, khususnya untuk komoditas pangan utama.
“Masukan data BMKG juga menjadi pertimbangan dalam penentuan kalender tanam secara nasional yang dirilis oleh kementrian terkait,” jelas Ardhasena.
Selain produk-produk iklim yang bersifat fisis murni, BMKG juga telah bekerjasama dengan para ahli dan user terkait untuk produk-produk yang bersifat sektoral, utamanya yang terkait pertanian. Beberapa diantaranya adalah produk informasi ketersediaan air tanah bagi tanaman, baik berupa analisis maupun prediksi, yang juga dipublikasikan secara rutin. Selain itu, BMKG juga melakukan pengamatan fenologi terstandar bagi komoditas yang berbeda di berbagai lokasi di seluruh Indonesia, untuk melihat pengaruh iklim terhadap pertumbuhan tumbuhan tertentu.
Menurut Ardhasena, salah satu program adaptasi unggulan BMKG adalah kegiatan Sekolah Lapang Iklim (SLI). SLI dilaksanakan untuk mendukung program ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Petani perlu diyakinkan oleh pengalaman mereka sendiri bahwa penggunaan informasi iklim dapat mengurangi tingkat kegagalan pertanian dan memberikan manfaat yang lebih besar. Oleh karena itu, SLI dilakukan di lapangan dalam bentuk kegiatan simulasi dan diskusi interaktif antara penyuluh sebagai pelatih kepada petani,” jelas Ardhasena.
Aktivitas SLI dikembangkan bukan hanya memberikan literasi iklim berbasis pembelajaran modul namun juga turut mengawal penerapannya di sektor pertanian selama satu musim tanam pada komoditas tertentu dan berbasis kebutuhan riil informasi iklim dan kasus yang terjadi di lapangan.
Ardhasena mengatakan, pelaksanaan SLI secara masif di hampir seluruh Provinsi Indonesia dengan kriteria pemilihan lokasi pada daerah yang rentan terhadap kejadian iklim ekstrim dengan total lebih dari 607 lokasi di 33 provinsi telah mengikuti kegiatan SLI hingga tahun 2022.