Pesan Abu Ubaidah ke Israel:Jangan Coba Bebaskan Tawanan Jika tak Ingin Ada Korban Militer
Pejuang Hamas berhasil menghancurkan lebih dari 180 kendaraan tempur Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Juru bicara Brigade Al Qassam Abu Ubaidah menyampaikan pesan terbarunya kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan anggota kabinet perang Israel.
Dalam pesan yang direkam sebelumnya, Abu Ubaidah mengatakan bahwa tawanan Israel tidak akan dibebaskan jika Israel terus menggunakan kekuatan militernya.
“Kami memberi tahu Israel bahwa Netanyahu, Gallant, dan pejabat lainnya di kabinet perang tidak dapat memulangkan tawanan mereka tanpa negosiasi. Pembunuhan terbaru terhadap seorang tawanan yang mereka coba ambil kembali dengan paksa membuktikan hal itu,” ujarnya dilansir Aljazirah, Ahad (10/12/2023).
Pernyataan Abu Ubaidah tersebut merujuk pada seorang pria Israel yang ditawan, yang coba diselamatkan oleh pasukan khusus Israel di Jalur Gaza. Al Qassam, kata Abu Ubaidah, menggagalkan upaya pembebasan tersebut yang menyebabkan beberapa korban militer berjatuhan dan tawanan juga tewas dalam insiden tersebut.
Abu Ubaidah juga mengatakan bahwa dalam sepuluh hari terakhir para pejuang Hamas dari Beit Hanoun hingga Khan Younis berhasil menghancurkan lebih dari 180 kendaraan militer APC, tank dan buldoser milik pasukan Israel.
Menurutnya, para pejuang Hamas melakukan operasi dengan cara menyerang prajurit Israel dari jarak dekat, menghalau puluhan serangan dari para penembak jitu Israel dan menggunakan persenjataan anti-personil.
“Taktik ini menyebabkan banyak kematian dan cedera di kalangan musuh,” katanya.
Selain itu, lanjut Abu Ubaidah, Brigade Al Qassam juga menyerang beberapa kota Israel, termasuk Ashkelon, Ashdod dan lainnya. "Kami terus melawan agresi Israel. Satu-satunya klaim kemenangan musuh adalah serangannya terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil," tuturnya.
Ia juga mendesak masyarakat di dunia Arab dan dunia Islam untuk melakukan protes terhadap tindakan Israel di Gaza dan tidak hanya menjadi penonton.
Kemarahan keluarga sandera....
Pada 5 Desember lalu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, bertemu dengan keluarga sandera yang telah kembali. Pertemuan ini digambarkan oleh beberapa dari mereka yang hadir sebagai pertemuan yang keras dan penuh kemarahan.
Pertemuan itu terjadi ketika pertempuran kembali terjadi di Jalur Gaza setelah jeda tujuh hari yang mengakibatkan kembalinya lebih dari 100 sandera dari daerah kantong tersebut. Nasib 138 sandera lain yang masih tertinggal di Gaza belum jelas.
“Saya mendengar cerita yang membuat hati saya patah, saya mendengar tentang rasa haus dan lapar, tentang kekerasan fisik dan mental,” kata Netanyahu mengeklaim cerita yang didengarnya.
"Saya mendengar dan Anda juga mendengar, tentang kekerasan seksual dan kasus pemerkosaan brutal yang tidak pernah terjadi sebelumnya," ujarnya.
Namun, nyatanya, dalam pertemuan itu, beberapa kerabat yang menghadiri pertemuan tersebut sangat kritis terhadap pemerintah.
Rasa frustasi keluarga para sandera yang belum dibebaskan Hamas juga ditujukan kepada Komite Internasional Palang Merah (ICRC) yang menengahi pembebasan sandera.
Para keluarga sandera dan warga Israel menuduh ICRC gagal mengunjungi sandera, tidak memberikan obat-obatan dan secara umum mengacaukan mandat netralitas dengan sikap pasif yang berlebihan terhadap Hamas.
Bagi juru bicara ICRC yang berbasis di Yerusalem Sarah Elizabeth Davies, kemarahan tersebut dapat dimengerti tetapi salah arah. “Kami benar-benar memahami rasa frustrasi, kemarahan, kekesalan, patah hati sejak 7 Oktober, tapi Israel salah memahami peran Palang Merah," ujar Davies dalam episode podcast Haaretz Weekly.
Davies menegaskan, ICRC menempatkan diri sebagai perantara yang netral, organisasi yang tidak memihak, dan independen. Namun, laporan dan cerita tentang nasib sandera yang sudah lanjut usia, sakit, atau terluka parah, membuat ketakutan yang semakin besar dan meningkatkan ekspektasi terhadap ICRC.
Bagi Davies, batasan mandat ICRC perlu diperjelas. Mereka hanya dapat bertindak jika ada persetujuan dari pihak-pihak yang bertikai.
“Kami tidak bisa memaksa masuk, kami tidak punya senjata dan tidak punya kekuatan politik. Kami tetap netral, sehingga kami bisa dipercaya. Dan ini bukanlah sesuatu yang selalu mudah dipahami, khususnya dalam realitas emosional sebuah," ujar Davies.
Davies menekankan bahwa netralitas tidak boleh disalahartikan sebagai sikap pasif. “Meskipun terkadang kami disalahpahami, kami memahami gawatnya situasi ini,” katanya.
“Kami terus-menerus mendorong pembebasan segera [para sandera Israel] dan memberikan akses kepada mereka. Dan kami berharap seruan kami untuk pembebasan mereka akan dijawab," kata perwakilan ICRC ini.