Serangan Israel Hancurkan Masjid Tertua di Gaza
Masjid ini memiliki sejarah yang menggabungkan banyak tradisi keagamaan.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Masjid Omari atau Masjid Umar, bangunan paling ikonik di Gaza dan masjid tertua yang berusia berabad-abad, sebagian besar hancur akibat serangan Israel.
Dilansir di NPR, Sabtu (9/12/2023), seorang pejabat Israel tanpa menyebut nama untuk memberikan penilaian awal, membenarkan serangan tersebut dan memfitnah bahwa di halaman masjid terdapat terowongan yang digunakan oleh pejuang Hamas, dan bahwa pejuang Hamas dari batalion elite Nukhba secara teratur menggunakan masjid tersebut untuk berlindung.
Masjid Umar sebelumnya pernah rusak akibat gempa bumi dan penaklukan, dan dibangun kembali berkali-kali sepanjang sejarah. Masjid ini memiliki sejarah yang menggabungkan banyak tradisi keagamaan. NPR mengunjungi masjid tersebut pada 2019 dalam tur ke landmark budaya Gaza dengan pemandu lokal.
Kini masjid pusat di Gaza, dengan lantai berkarpet biru dan jendela kaca berwarna, tidak dapat dikenali lagi.
Gambar-gambar yang dipublikasikan pada Jumat (8/12/2023) oleh situs berita lokal Gaza dan pemerintah kota Gaza menunjukkan atap masjid dihancurkan dan ruang utama tertutup puing-puing, dengan beberapa dinding melengkung dan menara yang rusak namun masih utuh.
Israel mengatakan tujuannya adalah melenyapkan Hamas di Gaza sehingga mereka tidak melakukan serangan. Pengeboman yang dilakukan Israel terhadap Gaza telah membunuh lebih dari 17 ribu orang dan menjadikan sebagian besar wilayah bersejarah Gaza menjadi gurun.
Masjid Omari awalnya adalah gereja Bizantium abad ke-5 yang dibangun di atas kuil yang lebih kuno. Bangunan ini diubah menjadi masjid pada abad ke-7, kemudian menjadi gereja Tentara Salib pada abad ke-11, dan kembali menjadi masjid pada abad ke-13.
Elemen arsitektur gereja Tentara Salib...
Elemen arsitektur gereja Tentara Salib masih terlihat di masjid modern dan ukiran menorah Yahudi di kolom masjid, yang diyakini awalnya merupakan bagian dari sinagog kuno, pernah didokumentasikan. Elemen ini dihancurkan dalam beberapa dekade terakhir.
Militer Israel pada Jumat dan Sabtu meminta penduduk di lingkungan dekat masjid untuk meninggalkan daerah tersebut untuk menghindari pertempuran, namun banyak yang tetap tinggal.
Saat jeda pertempuran antara pasukan Israel dan pejuang Hamas, Mustafa Shahawani (22 tahun) memberanikan diri keluar bersama sekelompok warga yang tinggal di dekat masjid untuk mengamati kerusakan di lingkungan tersebut. Dia menemukan pasar emas tradisional, tempat jual beli emas, hancur, dan terkejut ketika dia sampai di masjid di sebelahnya.
“Masjid sekarang menjadi sebuah lubang. Di sinilah kami mengadakan salat hari raya, sholat Ramadhan. Semua kenangan kami ada di sana,"kata dia.
Dia tinggal sebentar dan bergegas kembali ke rumah, saat pertempuran aktif kembali terjadi. Sebagian besar penduduk Kota Gaza melarikan diri beberapa pekan yang lalu ketika pasukan Israel menyerbu, namun puluhan ribu diperkirakan masih tetap tinggal di sana dan di wilayah utara Gaza lainnya, termasuk Shahawani. Ia merasa tidak ada tempat lain yang lebih aman untuk dikunjungi di Gaza.
Seorang pengangguran lulusan universitas yang belajar akuntansi, ia tinggal di rumahnya bersama neneknya, yang berusia 80-an. "Dia menangis setiap hari," kata dia.
Selama gencatan senjata selama sepekan, dia bisa berjalan melalui beberapa bagian Kota Gaza. Dia menggambarkan melihat kehancuran besar, hampir setiap rumah terkena dampaknya.
Dia melihat banyak jenazah...
Dia melihat banyak jenazah di jalanan. Dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang tubuh seorang wanita dan anak yang dia lihat dalam perjalanannya.
Dia berjalan di sepanjang tepi pantai, dan menemukan Hotel Deira yang sekarang sudah hancur, sebuah landmark di Gaza tempat dia biasa menghabiskan malam bersama teman-temannya. Roots Hotel di dekatnya, tempat nongkrong bagi penduduk lokal dan pengunjung asing, juga terkena serangan.
Sejak gencatan senjata gagal pada 1 Desember, pertempuran di dekat rumahnya semakin intensif dan dia hampir tidak pernah meninggalkan rumah. Dia dan neneknya minum satu gelas air dan makan nasi satu kali sehari. Dia mendambakan keju. Sudah satu setengah bulan sejak dia mandi.
“Tidak ada harapan dalam hidup. Kami melihat hal-hal mengerikan, dan hanya ingin hidup damai. Anak-anak dan perempuan tidak perlu mati,"kata Shahawani.
Warga sempat menguburkan jenazah di halaman samping rumahnya. Mereka telah kehabisan lahan sejak beberapa hari yang lalu.