Cobaan Berat Perempuan Gaza, Terpaksa Pakai Lap Hingga Popok Saat Haid

Wanita Gaza merasa malu dan terhina akibat minimnya akses kebersihan.

AP Photo/Abed Khaled
Seorang wanita Palestina yang terluka menangis sambil memegang tangan kerabatnya yang meninggal di luar rumahnya menyusul serangan udara Israel yang menargetkan lingkungan mereka di Kota Gaza, Senin, (23/10/2023).
Rep: Rossi Handayani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Wanita dan anak perempuan yang sedang haid di Gaza menghadapi kondisi yang memalukan dan infeksi. Mereka terpaksa menggunakan popok atau potongan kain setelah lebih dari dua bulan perang.

Pasokan makanan, air dan sanitasi sangat terbatas di seluruh Gaza karena sekitar 80 persen dari 2,4 juta penduduknya terpaksa mengungsi akibat konflik antara Israel dan Hamas.

“Saya memotong pakaian anak saya atau kain apa pun yang saya temukan dan saya menggunakannya sebagai pembalut saat haid. Saya mandi setiap dua pekan,” kata Hala Ataya (25 tahun) di kota Rafah di bagian selatan tempat banyak orang mengungsi, dilansir dari Al Arabiya, Selasa (12/12/2023).

Dia terpaksa meninggalkan rumahnya di kamp pengungsi Jabalia di Gaza utara. Dia datang bersama ketiga anaknya ke sekolah yang dikelola PBB, berbagi toilet dan kamar mandi dengan ratusan anak lainnya. Bau busuknya membuat mual di toilet yang dipenuhi lalat.

Sementara jalan-jalan di Rafah, yang berbatasan dengan perbatasan Mesir telah diubah menjadi jamban terbuka. Tumpukan sampah menutupi kota tersebut. Rafah telah menjadi kamp pengungsi yang luas karena sebagian besar warga Gaza dilarang meninggalkan wilayah tersebut.

Baca Juga


Kami telah kembali ke Zaman Batu...

"Kami telah kembali ke Zaman Batu. Tidak ada keamanan, tidak ada makanan, tidak ada air, dan tidak ada kebersihan. Saya malu, saya merasa terhina,” kata Samar Shalhoub (18) pengungsi dari Kota Gaza.

Dia bertahan hidup di berbagai tempat penampungan darurat yang menurutnya penuh dengan kotoran. Menurut pejabat setempat, perang tersebut dipicu oleh serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 7 Oktober oleh militan Hamas yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel.

Menurut jumlah korban terbaru oleh kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas, pembalasan oleh militer Israel membuat sekitar 18 ribu warga Palestina gugur, sebagian besar warga sipil. Karena tidak bisa mendapatkan produk sanitasi, Shalhoub menggunakan kain lap saat haid sehingga menyebabkan lecet dan infeksi kulit.

Marie-Aure Perreaut Revial dari Doctors Without Borders (MSF) menyatakan permintaan pil kontrasepsi meningkat empat kali lipat karena perempuan berupaya mengontrol haid mereka. ActionAid mengatakan hanya ada sedikit air untuk mencuci. Beberapa tempat penampungan hanya memiliki satu pancuran untuk setiap 700 orang dan satu toilet untuk setiap 150 orang.

“Sama sekali tidak ada apa-apa, tidak ada privasi, tidak ada sabun untuk menjaga kebersihan, dan tidak ada perlengkapan haid,” kata LSM tersebut.

Di samping itu, Ahlam Abu Barika...

Di samping itu, Ahlam Abu Barika, yang menghadapi bulan ketiga pengungsian, menggambarkan kebersihan pribadi sebagai perjuangan sehari-hari. “Wanita memakai popok atau kain bedong bayi. Airnya tidak cukup,” kata Abu Barika.

Dia mengurangi makan dan minum untuk memberi bagian lebih banyak kepada kelima anaknya dan membatasi perjalanannya ke toilet. “Berat badan saya turun 15 kilogram,” kata dia.

LSM Action Against Hunger mengatakan banyak pakaian wanita yang terkena noda darah haid. Mereka menggunakan produk menstruasi lebih lama sehingga meningkatkan risiko infeksi.

Di ruang kelas yang berfungsi sebagai kamar tidur bagi pengungsi Gaza, Umm Saif mengatakan kelima putrinya semuanya menggunakan popok saat haid. Harga popok hampir dua kali lipat semenjak perang. Untuk itu mereka memotong masing-masing popok menjadi dua, namun seorang anak perempuan masih perlu menggunakan potongan kain.

“Dia mulai menangis, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Saif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler