Mulai 2024, Penghitungan Inflasi BPS Mencakup 38 Provinsi
Amalia mengakui terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat pascapandemi Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) akan melakukan penghitungan tingkat inflasi secara meluas hingga 38 provinsi. Saat ini, BPS menghitung tingkat inflasi mengacu sebaran 34 provinsi.
Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, BPS melakukan pemutakhiran data usai merampungkan survei biaya hidup tahun dasar 2022. Setelah hadirnya survei biaya hidup tahun dasar 2022, penghitungan inflasi akan diperluas ke 38 provinsi menyusul adanya provinsi baru di Papua.
”Dengan SBH 2022 sekaligus tahun depan kami pastikan BPS bisa menyampaikan data inflasi provinsi yang jumlahnya sesuai saat ini, bukan lagi 34 provinsi, tapi mencakup 38 provinsi sesuai kondisi atau fakta yang kita miliki saat ini,” ujarnya saat acara Sosialisasi Survei Biaya Hidup 2022, Selasa (12/12/2023).
Menurut dia, survei biaya hidup tahun dasar 2022 akan menjadi acuan penentuan inflasi pada Januari 2024 dan pengumumannya akan disampaikan pada Februari 2024. Hal ini menjadi langkah baru, mengingat sebelumnya acuan penentuan indeks harga konsumen dan inflasi masih berpatok pada survei biaya hidup 2018 yang dilakukan level nasional dan kabupaten/kota.
"Sehingga nanti mulai angka inflasi Januari 2024 yang kemudian akan kami rilis pada 1 Februari 2024 akan menggunakan SBH dengan tahun dasar 2022," ucapnya.
Menurut Amalia, survei biaya hidup tahun dasar 2022 bisa menjadi acuan lebih akurat guna menentukan tingkat inflasi. Survei biaya hidup tahun dasar 2022 menyasar 240 ribu sampel rumah tangga, yang mencakup penghitungan indeks harga konsumen menjadi 847 komoditas.
"Inflasi pastinya berdasarkan perubahan indeks harga konsumen. Oleh sebab itu menjadi penting kiranya bagi BPS melakukan updating yang salah satunya kami lakukan dengan melaksanakan survei biaya hidup yang terakhir kami lakukan adalah tahun 2022 yang lalu," ucapnya.
Amalia mengungkapkan banyak pihak yang memanfaatkan data inflasi baik itu pemerintah, Bank Indonesia (BI), hingga pelaku usaha. Menurutnya pemerintah juga menggunakan data inflasi untuk menyusun asumsi dasar ekonomi makro, kemudian anggaran pendapatan dan belanja negara, juga sasaran-sasaran pembangunan.
Bank Indonesia menggunakan data inflasi menjadi salah satu pertimbangan dalam menyusun kebijakan moneter. Terlebih, bila inflasi yang tidak bergerak dalam kisaran sasaran yang ditetapkan. Sedangkan para pelaku usaha, data inflasi akan membantu untuk menyusun perencanaan bisnis periode selanjutnya dan juga untuk menghitung kenaikan upah pekerja.
“Langkah tersebut agar menghasilkan data inflasi yang lebih akurat, sesuai dengan perkembangan terkini. Pemanfaatan data inflasi ini sangat banyak. Ini bukan hanya sekadar data yang dirilis oleh BPS,” ungkapnya.
Amalia mengakui terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat pascapandemi Covid-19, salah satu alasan survei dilakukan pada 2022, menimbang kemampuan masyarakat yang mulai pulih.
"Kami yakini, pastinya terjadi perubahan pola konsumsi dari masyarakat kita. Kalau dibandingkan SBH 2022 dengan SBH 2018. Ini penting bagaimana kita bisa memotret pola konsumsi dari masyarakat yang setelah terjadi pandemi Covid-19," ucapnya.