Cuti Bersama 2024 Ada 10 Hari, Apa Dampaknya Banyak Libur Bagi Masyarakat?
Hari libur di Indonesia relatif banyak karena mengakomodasi hari raya 6 agama.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menetapkan 17 hari libur nasional dan 10 hari cuti bersama untuk tahun 2024. Penetapan hari libur dan cuti bersama ini disambut dengan beragam pandangan.
Ada kelompok masyarakat yang merasa jumlah off days itu terlalu banyak, tetapi ada pula yang justru senang bisa berlibur lebih sering. Sosiolog Universitas Indonesia Ida Ruwaida mengatakan, dua pandangan setuju dan tidak setuju ini bergantung pada kepentingan setiap orang. Secara umum, hari libur di Indonesia memang relatif banyak karena mengakomodasi perayaan hari-hari besar agama (ada enam agama resmi).
Selain itu, ada juga kebijakan libur peringatan hari-hari besar nasional seperti 17 Agustus, 1 Juni, dan 1 Mei. “Ditambah cuti bersama yang biasanya dilekatkan dengan hari-hari besar keagamaan yang jatuh pada hari nanggung misalnya Kamis, sehingga hari Jumat diliburkan,” ujar Ida saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (20/12/2023).
Dari sisi dunia pendidikan, utamanya di perguruan tinggi, banyaknya hari libur dinilai cukup mengganggu sesi perkuliahan karena tidak mudah mencari hari pengganti, terutama di level S1. Di beberapa lembaga internasional, menyikapi banyaknya hari libur dengan memberlakukan kebijakan hanya mengenal misalnya 15 hari libur setahun. Stafnya bisa memilih hari-hari libur nasional, sedangkan hari-hari lain wajib masuk, kecuali mengajukan cuti kerja.
Bagi masyarakat kelas bawah, banyaknya hari libur justru memberatkan secara ekonomi ketika keluarga di perkotaan, khususnya anak-anak. Karena pola umum adalah meminta berlibur atau jalan-jalan ke mal atau pusat pbelanjaan.
“Ini justru membebani ekonomi keluarga. Pengaruh medsos dan gaya hidup ikut melatari. Sebab itu, mengurangi cuti bersama, justru akan membantu keluarga-keluarga lapis bawah perkotaan. Mungkin di pedesaan tidak berpengaruh, namun perlu diidentifikasi dampaknya termasuk biaya-biaya ekonomi sosial dari banyaknya hari libur,” kata Ida.
Secara sosiologis, pada konteks masyarakat maju, memang mengenal dan butuh waktu luang (libur), misalnya di Eropa, Amerika, Australia, dan lainnya. Ada libur summer break (satu bulan), juga mengenal holiday (libur Natal dan tahun baru yang lamanya tiga sampai empat pekan).
“Dalam konteks masyarakat tersebut, libur lebih panjang namun kultur masyarakatnya sudah beretos kerja keras dan tinggi profesionalitasnya, termasuk kesejahteraannya sudah tergolong tinggi. Bahkan, mereka tidak berlibur di negara sendiri tapi ke negara-negara lain,” ujar Ida.
Berbeda dengan konteks sosio ekonomi serta budaya masyarakat Indonesia, berlibur atau liburan masih dikonsepsikan mewah dari segi waktu dan biaya (ekonomi). Juga masih perlu literasi atau edukasi memanfaatkan libur (1-2 hari) dengan cara-cara sederhana, kreatif, termasuk menjadi ajang kebersamaan dan kedekatan dalam keluarga.
Pada sisi pekerja atau karyawan, apakah dengan banyaknya libur berkorelasi positif dengan pningkatan kinerja dan sikap profesionalitas? Apakah berkorelasi positif dengan peningkatan well-being keluarga dan masyarakat?
“Efek demonstratif media, juga banyaknya mall, justru semakin berdampak pada menguatnya ekonomi konsumtif, termasuk tuntutan gaya hidup berbiaya tinggi karena di perkotaan justru mengisi liburan di mal atau pusat perbelanjaan,” kata Ida.