Cerita Ustadz Arifin Ilham Sholat Maghrib Diimami Qaddafi, Baca Alquran Hampir 1 Juz
Muhammar Qaddafi adalah sosok yang punya ghirah keislaman
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membicarakan almarhum Muammar Qaddafi memang terus menyisakan ruang, ada saja hal-hal menarik yang justru belum banyak diketahui publik.
Salah satunya adalah pengakuan almarhum Ustadz Muhammad Arifin Ilham tetang sosok yang digulingkan dari pemerintahan oleh warganya sendiri itu dalam perang saudara berdarah.
Dalam perbincangan dengan Republika pada 2011, Ustadz Arifin mengungkapkan sosok Qaddafi adala hafiz Alquran. Pada Februari 2011, Ustadz Arifin pernah menjadi makmum dalam sholat yang diimami Qaddafi.
Di satu sudut kota, di sebuah lapangan terbuka, ribuan massa tumpah ruah. Mereka semua berdiri membentuk barisan berbanjar. Rupanya, ritual sholat Maghrib sedang dilakukan di areal terbuka.
Sebagian besar lelaki menangis. Air mata mereka mengalir bukan karena sedih meratap, tapi karena mendengar lantunan ayat Alquran yang dibaca penuh khidmat. Ustadz Arifin Ilham mengingat suara imam itu berintonasi rendah, tetapi seperti mampu menerabas relung hati yang mendengarnya.
Ada semacam ketukan yang terasa dalam setiap kali sang imam membacakan ayat suci Alquran itu. Lantunannya juga tak tergesa-gesa. Bagi Arifin, suara bacaan imam sholat bagaikan seorang manusia senja yang sedang mengajak dialog anaknya dengan penuh kasih sayang.
Sang imam adalah penguasa Libya Muamar Qaddafi, memimpin sholat Maghrib bagi ribuan orang di lapangan Tripoli. Peristiwa itu terjadi sekitar Februari 2011, menjelang gonjang-ganjing politik yang membakar negeri itu dan akhirnya meruntuhkan kekuasaan rezim Qaddafi yang telah berkuasa selama 42 tahun.
Kenangan itu masih saja membekas dalam ingatan pemimpin Majelis Zikir Az Zikra di Sentul, Bogor, Jawa Barat, itu. ''Saya sampai ikut menangis juga,'' kenang Arifin ketika berbincang dengan Republika, Jumat (21/10/2011) siang. Dia mengaku tidak hanya sendirian menangis karena dari barisan shaf-shaf jamaah di dekatnya terdengar pula isakan tangis.
Baca juga: Ketika Dilanda Kesulitan Hidup, Bacalah Dzikir Istimewa Rasulullah SAW Ini
Saat itu sholat Maghrib dijamak (digabung) dengan sholat Isya. Mungkin itu adalah sholat terpanjang yang pernah dialaminya karena menghabiskan waktu dari seusai mentari tenggelam sampai waktu Isya tiba.
''Arifin menangis bahagia karena melihat ada pemimpin dunia yang bisa memimpin sholat dengan bacaan yang sepanjang ini. Suaranya juga seperti orang berdialog, pendek-pendek.''
Ritual itu menjadi lama, kata pemimpin Majelis Zikir Az Zikra ini, karena dalam satu rakaat Qaddafi mampu melantunkan ayat Alquran hampir satu juz. ''Kalau tak salah pernah dalam satu rakaat itu sampai 140 ayat dari surah al-Baqarah,'' ujar Arifin.
Arifin tidak hanya sekali saja mendapat kesempatan menjadi makmum dengan imam sholatnya adalah Qaddafi. Kali pertama Arifin menjadi makmum sholat dengan imam Qaddafi terjadi sekitar tiga tahun silam, saat kali kedua menyambangi Libya.
Sebelum sholat dimulai, Qaddafi biasanya melakukan proses pengislaman. Saat di Tripoli, ada 456 mualaf yang membaca syahadat, kebanyakan berasal dari suku-suku di Afrika.
Arifin mengaku sudah tiga kali diundang ke Libya. Kunjungan pertamanya terjadi sekitar 2005 walau tak sempat bertemu Qaddafi. Namun, kenangan sholat Maghrib berjamaah di Tripoli itu memang menjadi yang terakhir.
Sang imam yang dianggap rakyatnya sebagai tiran itu telah tewas setelah dua bulan bertahan menghadapi gempuran pasukan oposisi revolusioner di kota kelahirannya, Sirte.
Meski sudah tiga kali berkunjung, namun Arifin mengaku tidak pernah berbicara empat mata dengan Qaddafi. Pertemuannya dengan lelaki gurun itu hanya selintas saja. Walau hanya bertemu sekelebatan saja, tapi Arifin tetap menyimpan kesan mendalam.
Selain soal imam sholat, Arifin juga melihat sosok Qaddafi jauh dari kesan arogan. Ia menceritakan bagaimana pengawalan terhadap Qaddafi jauh dari umumnya pengawalan pejabat di Indonesia. Meski tak terlalu ingat berapa jumlah pastinya, ia menaksir jumlah pengawal Qaddafi setiap kali datang ke sebuah acara kurang dari 10 orang.
Para pengawalnya juga murah senyum, tidak bersikap kaku layaknya pengawal pejabat di negeri ini. ''Yang pasti tidak seperti di negara kita kalau presiden mau datang. (Pengawalan) Qaddafi tidak ketat. Tidak ada juga metal detector,'' ujar Arifin. ''Pengawalannya tidak rumit. Kalau kita mau bunuh, (sepertinya) bisa langsung.''
Ia memang sempat menyinggung perihal pengawal Qaddafi yang berasal dari perempuan. Namun, Arifin menyangkal jika Qaddafi adalah penggemar pengawal perempuan cantik. ''Mungkin mata Arifin yang salah. Tapi, kayaknya sih nggak cantik, biasa-biasa saja. Badannya malah kekar-kekar. Mereka juga nggak pegang senjata.''
Selain pengawalan yang begitu terbuka, Arifin juga melihat sosok Qaddafi itu terbilang unik. Dari mana sisi uniknya? Salah satunya adalah pakaian berlapis yang berwarna cokelat kekuningan yang selalu dilihatnya dalam dua kali pertemuan.
Lantas sebagai sosok pemimpin, kata Arifin, Qaddafi juga menunjukkan sikapnya yang tegas terhadap para musuh umat Islam. Ia menyebut sikap Qaddafi terhadap Amerika Serikat dan Yahudi yang mengabaikan hak bangsa Palestina ditunjukkan dari pidatonya dalam bahasa Arab.
"Dia bisa berbicara lembut tetapi juga bisa begitu berapi-api. Biasanya kalau sudah berapi-api, dia bicara soal Yahudi dan Amerika yang membombardir Palestina. Itu yang membuat dia marah sekali.''
Arifin juga mengakui, Qaddafi tergolong sosok yang dermawan. Dua kali datang ke Libya, dua kali pula ia melihat acara serah terima kunci pembangunan Islamic Centre maupun masjid di berbagai penjuru dunia.
Baca juga: Alquran Abadikan Tingkah Laku Yahudi yang Bodoh tapi Berlagak Pintar
Salah satu masjid sumbangan Qaddafi di Tanah Air adalah Masjid Muammar Qaddafy yang dibangun di atas tanah seluas lima hektare di Sentul, Bogor. Semua biaya pembangunan yang menghabiskan anggaran lebih dari Rp 40 miliar berasal dari Libya.
Awalnya, masjid seluas 1.200 meter persegi itu hendak diberi nama Masjid Az-Zikra. Namun, atas inisiatif Arifin, masjid itu akhirnya diberi nama Muammar Qaddafy. ''Jadi, nama masjid itu bukan permintaan beliau dan juga bukan permintaan Lembaga Dakwah Libya. Ini sebagai ucapan terima kasih atas jasa beliau,'' katanya.
Terlepas dari kesan positif yang pernah terpatri di hati, Arifin tetap tidak mau mengultuskan sosok Qaddafi. ''Tentunya setiap orang itu tak lepas dari kesalahan dan kekurangan. Tapi, inilah kesan yang Arifin tangkap dari beliau. Semoga beliau bisa diterima dengan baik di sisi-Nya,'' kata Arifin memanfaatkan harapan.