Mengapa Netanyahu Ngotot Israel Harus Kuasai Koridor Philadelpi? Ini Penjelasannya

"Koridor Philadelphi harus berada di tangan kami," kata Benjamin Netanyahu.

EPA-EFE/ABIR SULTAN
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Rep: Lintar Satria Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID,  GAZA -- Israel mengatakan ingin menguasai seluruh area perbatasan antara Gaza dan Mesir. Hal ini menandakan perang brutal di Gaza belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Baca Juga


Dalam konferensi mingguan Sabtu (30/12/2023) lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, "Koridor Philadelphi harus berada di tangan kami dan menutupnya untuk memastikan keamanan yang diinginkan Tel Aviv."

Perang Israel di Gaza sudah menewaskan 21.500 ribu warga Palestina. Saat perang memasuki pekan ke-13 menimbulkan pertanyaan signifikansi koridor tersebut, mengapa Israel ingin menguasainya dan apa implikasinya?

Koridor Philadelphi yang juga dikenal Rute Philadelphi merupakan jalur sepanjang 14 kilometer yang mewakili seluruh perbatasan antara Gaza dan Mesir. Garis ini didirikan sebagai zona penyangga.

Pasukan Israel berpatroli di perbatasan itu sebagai bagian dari perjanjian damai 1979 dengan Mesir yang mengakhiri pendudukan Israel di Semenanjung Sinai dan dibukanya kembali Terusan Suez. Tujuannya untuk menghentikan pasokan senjata dan material lainnya ke tangan rakyat Palestina di Jalur Gaza yang diduduki Israel dan mencegah warga Palestina datang ke Mesir tanpa pemeriksaan.

"Itu harus ditutup, sudah jelas setiap kesepakatan tidak bisa memastikan demiliterisasi yang kami inginkan," kata Netanyahu dalam konferensi pers akhir pekan lalu.

Ia juga memberi sinyal perang mungkin akan berlangsung beberapa bulan ke depan. Atas desakan internasional, Israel mundur dari Jalur Gaza pada 2005 lalu dan mengubahnya menjadi penjara terbuka terbesar di dunia.

Mesir menjadi pemain utama menguasai perbatasan yang menjadi satu-satunya pintu Gaza ke dunia luar yang tidak dikuasai Israel. Tel Aviv mempertahankan blokade darat, laut dan udara Jalur Gaza di semua sisi.

Setelah Israel mundur pada 2005 Mesir mengerahkan 750 tentara dan persenjataan berat untuk berpatroli dan menjaga perbatasan itu di sisi Mesir. Sementara sisi lainnya diserahkan ke Otoritas Palestina. Tetapi, Hamas menguasai Jalur Gaza dua tahun kemudian.  

Selama bertahun-tahun Mesir mengatakan mereka menghancurkan terowongan-terowongan yang digali warga Palestina untuk menyelundupkan senjata dan orang. Tetapi, Israel mempertanyakan efektivitas langkah Kairo.

Kini, Israel ingin menguasai penuh perbatasan tersebut termasuk penyeberangan Rafah untuk memastikan keamanannya. Tetapi, Amerika Serikat (AS) tampaknya tidak setuju Israel kembali menduduki Jalur Gaza.

Mesir dan Hamas menolak Israel menguasai kembali koridor tersebut. Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi berulang kali mengatakan Kairo tidak akan membiarkan warga Palestina mengungsi ke Mesir.

 

Jurnalis dan peneliti dari American University of Beirut Rami Khouri mengatakan Netanyahu berharap dapat menarik dukungan rakyatnya yang mulai marah dan kritis terhadap penanganan pemerintah atas perang dan kegagalannya memulangkan ratusan sandera yang masih ditawan Hamas. Di saat yang sama perdana menteri Israel itu masih menanamkan ketakutan pada rakyat Palestina dan memiliki pengaruh dalam negosiasi dengan AS dan Mesir.

"Jadi apa pun yang ia katakan memiliki banyak pendengar, banyak tujuan, dan tidak boleh dianggap remeh," kata Khouri pada Aljazirah.

"Kami harus menganggapnya elemen lain yang ingin ia lemparkan ke pot negosiasi," tambahnya.

Khouri mengatakan, Mesir tidak akan setuju Israel menguasai koridor perbatasan dan mengerahkan militer beberapa dekade setelah mereka hengkang. Ia mengatakan, pernyataan Netanyahu juga dapat dilihat dengan konteks upaya Israel memperluas teritorialnya, ambisi lama Israel sejak berdiri tahun 1948. 

"Semakin luas mereka berekspansi, semakin banyak tanah yang mereka kuasai, semakin mereka mencoba mengambil alih tanah orang lain dan mengusir warga dari rumah mereka, semakin tidak aman mereka karena hanya memicu bentuk perlawanan yang lebih keras dan intensif dari rakyat Palestina dan masyarakat lain, termasuk Hizbullah dan Lebanon," kata Khouri. 

Israel membawa gagasan "zona penyangga" di sepanjang perbatasan utara Gaza dalam pertemuan dengan pemimpin Arab dan AS bulan lalu. Sebagai bagian dari rencana "hari setelah Hamas."

Tel Aviv dilaporkan ingin menarik koridor ini ke dalam Gaza untuk memastikan tidak ada serangan mendadak Hamas seperti yang terjadi pada 7 Oktober lalu. Awal bulan ini, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, mengatakan Washington menentang "pengurangan batas geografis Gaza". 

AS juga mengatakan mereka ingin Otoritas Palestina yang mengambil alih keamanan di Jalur Gaza. Bertolak belakang dengan keinginan Israel yang ingin membangun militernya sendiri di sana. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler