Palestina Kecam Aksi Israel Bujuk Eropa untuk Terima Pengungsi Gaza
Palestina berharap Tony Blair tidak ikut campur.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Dubes Palestina untuk Inggris menyatakan kemarahannya atas laporan bahwa Israel bermaksud menggunakan mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, untuk membujuk negara-negara Barat agar mereka menerima pengungsi dari Jalur Gaza setelah perang.
"Media Israel melaporkan bahwa mantan PM Inggris Tony Blair mengunjungi Israel pekan lalu, bertemu dengan beberapa pejabat Israel termasuk (PM Israel Benjamin) Netanyahu dan mengambil peran membantu Israel melaksanakan pengusiran massal dan pembersihan etnis warga Palestina dari tanah air mereka berkedok 'migrasi sukarela,'" kata Dubes Palestina Husam Zomlot di platform X, dikutip pada Selasa (2/1/2024).
"Kami menyerukan kepada Pemerintah Inggris untuk memastikan tidak ada tokoh Inggris yang akan mengambil bagian dalam kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang dilakukan Israel. Kami bersikeras, siapa pun yang melakukan hal tersebut harus menanggung konsekuensi hukum atas tindakan tidak bermoral dan kriminal terhadap rakyat Palestina," lanjutnya.
Channel 12 Israel mengatakan Blair melakukan kunjungan rahasia ke Israel pekan lalu, mengadakan pertemuan rahasia dengan Netanyahu dan anggota kabinet perang Benny Gantz untuk membahas masalah itu.
Namun, sumber yang dekat dengan Blair membantah laporan tersebut, dan mengatakan kepada The Jerusalem Post bahwa klaim Blair terkait pengungsian warga Palestina tidak berdasar. Sumber tersebut menekankan diskusi seperti itu tidak pernah terjadi dan Blair tidak akan pernah menerima usulan tersebut.
Israel melancarkan serangan udara dan darat tanpa henti di Jalur Gaza setelah serangan lintas batas yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober.
Sedikitnya 21.882 warga Palestina tewas dan 56.451 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan Gaza, sementara hampir 1.200 warga Israel diyakini tewas dalam serangan Hamas.
Serangan Israel telah menyebabkan kehancuran di Gaza, dengan 60 persen infrastruktur di daerah kantong tersebut rusak atau hancur dan hampir dua juta warga mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan.