Begini Situasi Pembantaian oleh Tentara Salib Saat Taklukkan Yerusalem
Perang Salib bentuk agresi yang cenderung ke pembantaian Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kebanyakan sejarawan Muslim pada akhir Abad Pertengahan menilai Perang Salib sebagai serangan brutal yang dilakukan orang asing (alien intruders) kepada penduduk lokal, yakni warga Baitul Makdis dan sekitarnya.
Perang Salib merupakan serangkaian pertempuran yang terjadi secara periodik antara 1095 dan 1291 Masehi.
Palagan yang memakan waktu nyaris dua abad itu dilatari ambisi para pemimpin agama dan politik Kristen Eropa Barat. Mereka berhasrat merebut Baitul Makdis atau Yerusalem dari tangan Muslimin.
Pasukan Salib yang memasuki Yerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu.
Haddad Wadi Z dalam artikelnya, The Crusaders through Muslim Eyes, menjelaskan para ahli sejarah itu juga menyoroti perbedaan Salibis dengan agresor lainnya pada masa itu. Kaum penjajah dari Eropa Barat ini terkesan datang bukan untuk merampas suatu wilayah, lalu memerintah dan menarik pajak dari seluruh masyarakat lokal.
Alih-alih begitu, mereka justru lebih suka mendirikan koloni di wilayah taklukannya setelah membantai semua orang setempat yang berlainan iman dengannya. Dapat disimpulkan, tentara Salibis dalam perspektif sejarawan Muslim adalah gerombolan ekstremis.
Bagaimanapun, yang cukup menarik perhatian adalah bahwa tidak satu pun ahli sejarah itu yang menyebut mereka sebagai pasukan salib atau namanama lain yang menunjukkan identitas keagamaan tertentu, semisal Kristen. Para agresor itu disebutnya bangsa Frank (al-Faranj atau al-Ifranj) yang menandakan asal negeri, bukan agama, mereka.
Dengan demikian, apa yang dinamakan sejarawan modern kini sebagai tentara Salib, itu diidentifikasi para sarjana Muslim abad pertengahan lebih sebagai orang asing.
Walaupun memang, lanjut Haddad Wadi, ada kalanya balatentara itu disebut sebagai orang kafir, seperti pada saat pertempuran berlangsung antara kedua belah pihak.
Haddad meneruskan, banyak dinasti Muslim yang memerangi Romawi Timur (Bizantium) sebelum gelombang Salibis terjadi. Artinya, pertempuran melawan bangsa asing yang non-Islam bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Akan tetapi, fenomena yang dihadirkan Pasukan Salib membuka mata mereka tentang perangai barbar yang datang dari luar dunia Islam. Mereka menyaksikan dengan sedih, bagaimana Salibis tidak beretika dalam melancarkan perang.
Baca juga: Suka Bangun Malam Hari Kemudian Ingin Tidur Lagi, Baca Doa Rasulullah SAW Ini
Saat menduduki Antiokia, Akra, Haifa, Jubail, dan puncaknya Baitul Makdis, gerombolan tersebut bertindak tanpa perikemanusiaan sedikit pun.
Mereka membasmi semua orang Islam setempat dan membumihanguskan rumah-rumah warga sipil. Karena itu, ketika Sultan Salahuddin membebaskan Tanah Suci pada 1187, kebijakan yang diambil sang pemimpin Dinasti Ayyubiyah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Salibis berpuluh-puluh tahun silam.
Di Masjid al-Aqsa terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai.
Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu....
Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai:
“No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999).