Cerita Film Sehidup Semati 'Tabu', Sutradara: Jual Cerita Ini Susah, Harus Nunggu 13 Tahun

Film Sehidup Semati angkat kisah korban KDRT yang tidak mampu melawan karena dogma.

Dok. Republika/Rahma Sulistya
Seluruh pemeran dan tim produksi film Sehidup Semati dalam press screening di XXI Epicentrum Jakarta, Senin (8/1/2024).
Rep: Rahma Sulistya Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sutradara Upi telah menantikan penggarapan film Sehidup Semati sejak 13 tahun lalu. Film tersebut akhirnya bisa hadir di bioskop pada 11 Januari 2024.

Baca Juga


Upi berani mengangkat tema cerita yang sensitif berlatar belakang dogma agama tertentu. “Eksekusi menurut saya tidak susah karena saya punya tim yang sangat kuat. Tapi bagaimana ngejual cerita ini pertama kali, itu yang sangat susah. Makanya saya harus nunggu 13 tahun,” ujar Upi dalam press screening film Sehidup Semati di XXI Epicentrum Jakarta, Senin (8/1/2023).

Ia pernah mencoba tawarkan cerita Sehidup Semati ini pada beberapa produser, sayangnya belum ada yang berani. Hingga akhirnya cerita ini diproduksi oleh Starvision, dan film ini termasuk dalam genre psychology thriller yang masih terbilang cukup jarang di industri perfilman Indonesia.

Upi juga menceritakan bagaimana awal cerita film Sehidup Semati muncul, ketika pikirannya terusik dengan dogma, keyakinan, hingga ayat dalam suatu agama yang dipelintir atau disalahgunakan. Akhirnya hal tersebut membuat posisi perempuan berada dalam situasi lemah, terkekang, dan direndahkan.

Semua ajaran itu masuk ke dalam pikiran semua orang secara turun-temurun, hingga lahir perempuan seperti Renata (Laura Basuki). Sehidup Semati memperlihatkan bagaimana seorang perempuan itu harus manut pada apa yang telah diajarkan, serta tidak diberi ruang untuk bertanya atau mengatakan "tidak setuju".

Ketika kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT terjadi pada diri Renata di film Sehidup Semati, ia tidak bisa mengadukan hal tersebut pada keluarga. Karena keluarganya pun juga harus melalui hari-hari yang sama seperti Renata.

Film yang rencananya akan dikirim ke beberapa festival film internasional ini, diharapkan bisa menekan agar tidak ada lagi perempuan-perempuan seperti Renata. Atau bahkan, tidak ada lagi laki-laki yang seperti Edwin (Ario Bayu), yang semena-mena terhadap istrinya.

Sementara itu, Ario Bayu merasa karakter Edwin ini merupakan simbol dari manifestasi dogma yang tidak benar. “Memang ada konsep yang harus dikedepankan, ada tabu sosial yang memang harus diangkat,” ujar Ario dalam kesempatan yang sama.

Edwin memiliki latar belakang keluarga yang menganggap bahwa sebagai laki-laki, tidak apa-apa melakukan KDRT karena laki-laki punya kuasa. Bahkan ketika melakukan adegan, Ario kerap merasa mengasihani karakter Renata karena harus mengalami kejadian tidak pantas itu. 

“Yang ingin diutarakan Upi, Renata ini ada, keluarga-keluarga yang mengalami hal serupa. Ini memberi contoh bahwa ini lah manifestasi yang salah, simbol yang jangan diikuti. Saya tuh belajar banyak dari karakter yang ada di sini, bahwa ternyata ada tradisi, paham, atau kultur yang nggak tahu ya apakah dikotominya harus dipertahankan atau harus kita revisi ulang,” kata Ario.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler