Bebasnya Fatia-Haris Diharapkan Cegah Kriminalisasi Aktivis HAM
Persidangan yang berlangsung panjang berpengaruh pada iklim kebebasan berekspresi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi putusan bebas aktivis HAM Hariz Azhar dan terdakwa Fatia Maulidianty. ICJR berharap putusan ini jadi contoh terhadap kriminalisasi aktivis HAM.
Peneliti ICJR Nur Ansar menilai ini adalah putusan yang baik karena Majelis Hakim memberikan pertimbangan yang menarik dalam konteks kebebasan berekspresi. Majelis hakim merujuk pada SKB tentang Pedoman Implementasi UU ITE, di mana sebuah analisis dan penilaian bukanlah suatu penghinaan atau pencemaran nama baik.
"Majelis menggunakan konsep ini di dalam putusannya dengan memertimbangkan fakta bahwa Luhut Binsar Panjaitan memang merupakan pemilik saham dominan di PT Toba sehingga memiliki hubungan dengan perusahaan yang diperbincangkan Fatia-Haris dalam podcast," kata Ansar dalam keterangannya pada Selasa (9/1/2024).
Fakta ini kemudian dipertimbangkan juga oleh majelis hakim dalam unsur pasal dakwaan lainnya tentang berita bohong dan kabar yang tidak pasti. "Hakim telah mengamini bahwa memang terdapat keterlibatan Luhut Panjaitan dalam operasi perusahaan tersebut," ujar Ansar.
Ansar meyakini bebasnya Fatia-Haris menjadi secercah harapan. Ansar menaruh harap putusan ini dapat mencegah kriminalisasi aktivis HAM di kemudian hari karena hakim dapat merujuk putusan tersebut.
"Ke depannya, pertimbangan majelis hakim dalam putusan Fatia-Haris perlu menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus (aktivis HAM, lingkungan) serta penerapan pasal penghinaan dalam KUHP baru, revisi kedua UU ITE, maupun dalam kerja-kerja aparat penegak hukum, bahwa kritik terhadap penguasa dilindungi dalam negara demokratis," kata Ansar.
Namun, Ansar menyebut persidangan yang sampai dengan 32 kali ini tetap perlu menjadi catatan untuk evaluasi. Persidangan ini berlangsung lama dan menguras energi masing-masing pihak. Hal ini pada akhirnya tetap berpengaruh pada iklim kebebasan berekspresi.
"Terlepas nantinya memang diputus bebas, proses persidangannya telah mengalihkan sebagian besar perhatian untuk kasus ini, dan kasus-kasus lain sejenis sayangnya berakhir berbeda dengan adanya kriminalisasi," ucap Ansar.
Sebelumnya, Haris Azhar dituntut pidana empat tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 juta subsider enam bulan kurungan. Sedangkan Fatia Maulidyanti dituntut dengan pidana 3,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 ribu subsider tiga bulan kurungan.
Keduanya dipandang JPU terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan sebagaimana yang diatur Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Tapi Majelis hakim menganggap tuntutan kepada Haris dan Fatia tidak memenuhi unsur hukum.
Kasus ini bermula dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam" yang diunggah di kanal YouTube Haris.
Dalam surat dakwaan JPU menyebutkan anak usaha PT Toba Sejahtera yaitu PT Tobacom Del Mandiri pernah melakukan kerja sama dengan PT Madinah Quarrata’ain, tapi tidak dilanjutkan. PT Madinah Quarrata’ai disebut Haris-Fatia sebagai salah satu perusahaan di Intan Jaya yang diduga terlibat dalam bisnis tambang.
Dalam sidang putusan, Hakim menyebut kepemilikan saham Luhut Binsar Pandjaitan sebesar 99 persen di PT Toba Sejahtera membuatnya sebagai penerima manfaat.