Agen Mata-Mata Korsel Ungkap Info Korut Pasok Peluncur Granat Bertenaga Roket ke Hamas
Pejuang Hamas diketahui menggunakan peluncur granat bertenaga roket F-7 buatan Korut.
REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Kementerian Luar Negeri Korea Selatan menyatakan sangat prihatin atas transaksi senjata Korea Utara, setelah agen mata-mata Korea Selatan mengonfirmasi bahwa senjata Korea Utara digunakan oleh kelompok Palestina Hamas dalam perang dengan Israel. Pada Senin (8/1/2024), Badan Intelijen Nasional (NIS) Korea Selatan merilis foto bagian roket Korea Utara yang menunjukkan bahwa pejuang Hamas menggunakan peluncur granat bertenaga roket F-7 yang diproduksi di Pyongyang, lapor kantor berita Yonhap yang berbasis di Seoul.
“Pemerintah sangat prihatin dengan pengiriman senjata Korea Utara ke luar negeri,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Lim Soo Suk dalam konferensi pers pada Selasa (9/1/2024).
Setiap perdagangan senjata dengan Korea Utara jelas merupakan pelanggaran terhadap resolusi-resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), yang secara serius mengancam perdamaian dan keamanan internasional, juga Semenanjung Korea, katanya. Dia mengatakan bahwa Korea Selatan akan terus bekerja sama dengan Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara lain untuk memastikan semua anggota PBB mematuhi resolusi Dewan Keamanan, dan menyatakan posisinya mengenai masalah ini dalam pertemuan DK PBB.
Militer Korea Selatan sebelumnya mengungkapkan kekhawatiran bahwa Korea Utara mungkin memiliki hubungan militer dengan Hamas, dan Pyongyang bakal menggunakan taktik militer yang sama seperti yang digunakan Hamas dalam perangnya dengan Israel untuk menyerang Seoul secara tiba-tiba.
Selain memasok senjata ke Hamas, Korut juga dikabarkan mengirim rudal-rudal ke Rusia untuk digunakan menginvasi Ukraina. Di tengah kecaman dari AS berserta sekutunya, Pemimpin Korut Kim Jong-un mengunjungi pabrik senjata. Kantor berita KCNA melaporkan Kim juga menekankan "kekurangan" produksi amunisi.
KCNA melaporkan Kim menyerukan penyesuaian sambil menekankan "pentingnya produksi senjata strategis." Foto-foto kunjungan Kim yang dipublikasikan kantor berita itu menunjukkan pemimpin Korut tersebut sedang menginspeksi kendaraan peluncur rudal jarak-pendek.
Kunjungan ini dilakukan saat hampir 50 negara mengecam pembelian senjata yang dilakukan Rusia dan menggunakan rudal balistik Korut di Ukraina. "Penggunaan rudal balistik DPRK (Korut) oleh Rusia di Ukraina juga memberikan wawasan teknis dan militer yang berharga bagi DPRK," kata pernyataan bersama negara-negara itu pada Selasa, (9/1/2023) kemarin.
Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan menghubungi Direktur Kantor Keamanan Korsel Chang Ho-jin. Gedung Putih mengatakan keduanya "mengecam dengan sikap sekeras mungkin" pengiriman rudal Korut ke Rusia.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengatakan setelah Rusia dilaporkan menggunakan rudal Korut di Ukraina pada 30 Desember dan 2 Januari, Rusia meluncurkan lebih banyak serangan ke Ukraina. Termasuk satu rudal yang jatuh di Kharkiv.
Dalam konferensi pers Kirby mengatakan AS dan sekutu-sekutu dan mitranya akan membahas isu ini di Dewan Keamanan PBB. Di saat yang sama KCNA melaporkan Kim juga menyebut Korsel sebagai "negara paling memusuhi" negaranya.
Ia menuduh Korsel memicu konfrontasi dan membangun persenjataannya sementara meminta Korut untuk menahan peningkatan kapabilitas militer dan perang nuklir. Ia menggambarkan memburuknya hubungan antara dua negara Korea sebagai "fase perubahan baru" dan "realita yang tak dapat dihindari."
"Kami tidak akan secara sepihak membawa sebuah peristiwa besar dengan kekuatan yang luar biasa di semenanjung Korea, namun kami juga tidak berniat untuk menghindari perang," kata Kim seperti dikutip KCNA.
Dalam pidatonya di pertemuan partai akhir tahun bulan lalu, Kim mengatakan reunifikasi damai tidak mungkin terjadi. dan menambahkan pemerintah akan membuat "perubahan kebijakan yang menentukan" dalam hubungan dengan Korsel.
Perang Israel-Hamas sudah berlangsung tiga bulan. Saat belum ada tanda-tanda perang akan mereda, Menter Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken saat ini tengah menggelar tur diplomatiknya ke beberapa negara Timur Tengah. Pada akhir pekan lalu, pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, mendesak Blinken memfokuskan tur diplomatiknya ke beberapa negara di Timur Tengah untuk menghentikan agresi Israel ke Jalur Gaza.
Blinken telah memulai lawatannya ke Turki pada Jumat (5/1/2024) malam dan diagendakan mengunjungi Yunani, Yordania, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, Israel, Mesir, dan Palestina.
“Kami berharap Blinken belajar dari pelajaran tiga bulan terakhir, dan menyadari skala kesalahan yang dilakukan AS dengan memberikan dukungan menyeluruh (kepada Israel). Kami berharap dia fokus untuk mengakhiri agresi, dan mengakhiri pendudukan seluruh wilayah Palestina,” kata Haniyeh dalam sebuah pesan video yang dirilis Jumat pekan lalu, dikutip Anadolu Agency.
Haniyeh pun menyerukan para pemimpin negara Arab dan Islam yang akan ditemui Blinken untuk menyampaikan bahwa masa depan di kawasan dan stabilitasnya berkaitan erat dengan perjuangan Palestina yang tidak dapat diabaikan. “Rakyat (Palestina) dan kelompok perlawanan tidak akan menerima pendudukan yang terus menerus mencekik kami,” ujarnya.
Tur diplomatik Blinken ke Turki, Yunani, dan beberapa negara di Timur Tengah akan berlangsung hingga 10 Januari 2024 mendatang. Isu Palestina, terutama terkait situasi di Gaza, memang menjadi salah topik yang bakal dibahas Blinken selama lawatannya.
“Saya kembali ke wilayah tersebut untuk melakukan diplomasi tambahan mengenai situasi di Gaza. Saya akan terus mendesak perlindungan kehidupan warga sipil dan bekerja secara intensif dengan para mitra untuk menjamin pembebasan para sandera dan memastikan pengiriman bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan di Gaza,” kata Blinken lewat akun X (Twitter)-nya.
Hingga saat ini Israel dan Hamas masih terlibat pertempuran di Gaza. Setidaknya 22.600 warga Gaza telah terbunuh sejak Israel memulai agresinya pada 7 Oktober 2023. Sementara korban luka hampir menyentuh 58 ribu orang. Agresi Israel ke Gaza juga menyebabkan 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur. Sementara hampir 2 juta penduduk Gaza terpaksa mengungsi dan menghadapi krisis pangan, air bersih, serta obat-obatan.