Rehabilitasi Sosok Togog: Pahami Betapa Susahnya Mengubah Perilaku Seseorang
Sosok Togog rela distigmasisasi sebagai tohoh jahat karena berusaha mengubah tokoh jahat menjadi baik
Di dalam Wayang Purwa bermunculan para tokoh yang sama sekali tidak tampil di Mahabharata dan Ramayana. Dua di antara para tokoh khas Wayang Purwa adalah Semar dan Togog.
Alkisah, menurut versi Wayang Purwa yang tidak ada di Mahabharata dan Ramayana, Sanghyang Wenang menyelenggarakan sayembara internal untuk memilih pewaris tahta singasana Suralaya dari ketiga anaknya yang lahir dari sebutir telur.
Lapisan-lapisan telur terdiri dari kulit telur diberi nama Batara Antaga, putih telur diberi nama Batara Ismaya dan kuning telur diberi nama Batara Manikmaya. (Sebenarnya ada pula versi anak Sanghyang Wenang adalah empat namun sengaja saya hindari demi fokus pada tiga anak saja).
Sayembara diadakan dengan syarat barang siapa dari ketiga anaknya dapat menelan bulat-bulat dan memuntahkan kembali Gunung Mahameru, maka dialah yang akan menjadi penguasa Swargaloka.
Pada giliran pertama Batara Antaga mencoba melakukannya, tetapi malah mulutnya membesar menjadi seperti paruh burung akibat memaksakan dirinya untuk menelan, padahal mulutnya tidak muat.
Giliran kedua adalah Batara Ismaya. Ternyata Gunung Mahameru dapat ditelan bulat-bulat, tetapi tidak dapat dikeluarkan lagi, maka perut Batara Ismaya menggelembung buncit.
Karena sarana sayembara sudah musnah ditelan Batara Ismaya, maka yang berhak memenangkan sayembara dan dinobatkan menjadi penguasa Swargaloka adalah Sang Hyang Manikmaya alias Batara Guru.
Sementara Batara Antaga yang sudah beralih-rupa menjadi Togog dan Batara Ismaya yang sudah menjadi Semar diutus turun ke marcapada untuk menjadi penasihat, pamong serta pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia.
Semar dipilih sebagai pamong untuk para kesatria berwatak baik (Pandawa) dan Togog sebagai pamong untuk para kesatria dengan watak buruk (Kurawa).
Alhasil Togog distigmasisasi buruk akibat dianggap berteman dengan manusia yang distigmasisasi buruk. Togog pun ikut terseret distigmasisasi sebagai tokoh buruk.
Stigmasisasi menular seperti itu memang tidak adil, namun melazim di masyarakat demokratis yang bebas untuk berpendapat. Tugas Togog sebenarnya jauh lebih berat ketimbang tugas Semar. Mendampingi tokoh buruk justru lebih sulit dan lebih penuh risiko ketimbang mendampingi tokoh baik.
Sementara bukan berarti citra Togog serta merta hukumnya wajib menjadi buruk akibat mendampingi tokoh buruk.
Mengubah tokoh buruk menjadi baik justru jauh lebih sulit ketimbang mengubah tokoh baik menjadi tetap baik.
Togog justru membutuhkan energi budi-pekerti serta daya tahan mental jauh lebih besar ketimbang Semar dalam memengaruhi tokoh antagonis menjadi protagonis.
Saya menghormati Semar sebagai suri teladan keadiluhuran budi pekerti, namun saya juga menghormati Togog sebagai tokoh suri teladan perjuangan jatuh-bangun sampai babak-belur distigmasisasi sebagai tokoh jahat.
Padahal justru dalam perjuangan berikhtiar mengubah tokoh buruk menjadi tokoh baik.