Israel Cuekin Mahkamah Internasional, Lanjutkan Perang di Gaza

Netanyahu sesumbar tak ada yang bisa hentikan negaranya.

EPA-EFE/ROBIN UTRECHT
Simpatisan Palestina berkumpul selama demonstrasi, bersamaan dengan sidang di Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai pengaduan genosida oleh Afrika Selatan terhadap Israel, di Den Haag, Belanda, Kamis (11/1/2024).
Rep: Kamran Dikarma Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan tidak ada hal yang bisa menghentikan negaranya untuk menumpas habis Hamas di Jalur Gaza. Dia menyebut, keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang berbasis di Den Haag, Belanda, juga tidak akan menghentikan misi Israel.

"Tidak ada seorang pun yang akan menghentikan kami, baik Den Haag, Poros Kejahatan, dan tidak ada orang lain. Hal ini (perang di Gaza) mungkin dan perlu untuk dilanjutkan sampai kemenangan, dan kami akan melakukannya," kata Netanyahu dalam konferensi pers yang disiarkan televisi, Sabtu (13/1/2024), dikutip laman Al Arabiya.

Netanyahu mengeklaim, serangan militer Israel di Gaza telah melenyapkan sebagian besar batalyon Hamas di Gaza. Netanyahu pun kembali menyampaikan bahwa warga Gaza yang sudah mengungsi dari wilayah utara, tidak akan diizinkan kembali ke rumah mereka dalam waktu dekat.

Baca Juga


"Ada hukum internasional yang menyatakan satu hal sederhana: Anda menghilangkan suatu populasi dan Anda tidak mengizinkannya kembali selama bahaya masih ada. Dan bahayanya memang ada. Ada pertempuran di sana (di Gaza utara)," ucap Netanyahu.

Persidangan dugaan genosida Israel di Gaza telah digelar selama dua hari di ICJ, yakni pada Kamis dan Jumat pekan ini. Pada hari pertama persidangan, Afrika Selatan (Afsel) selaku penggugat, memaparkan bukti-bukti terkait adanya intensi dan tindakan genosida yang dilakukan Israel di Gaza.

Pengungsian paksa warga Gaza menjadi salah satu indikatornya. Adila Hassim, seorang pengacara yang mewakili Afsel, mengatakan kepada panel hakim ICJ bahwa Israel telah melanggar Pasal II Konvensi Genosida. Hal itu mencakup "pembunuhan massal" terhadap warga Palestina di Gaza.

"Israel mengerahkan 6.000 bom per pekan. Tidak ada yang selamat. Bahkan bayi yang baru lahir pun tidak. Para pemimpin PBB menggambarkannya sebagai kuburan anak-anak,” ujar Hassim, dikutip laman Aljazirah.

"Tidak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini, kecuali perintah dari pengadilan ini," kata Hashim.

Pengacara lain yang mewakili Afsel, Tembeka Ngcukaitobi, mengatakan, menangani isu intensi genosida Israel terhadap warga Palestina di Gaza biasanya merupakan hal yang paling sulit dibuktikan. Namun, dia menekankan bahwa para pejabat dan militer Israel telah menunjukkan intensi tersebut.

"Para pemimpin politik Israel, komandan militer, dan orang-orang yang memegang posisi resmi telah secara sistematis dan eksplisit menyatakan niat mereka untuk melakukan genosida," ucap Ngcukaitobi.

"Pernyataan ini kemudian diulangi oleh tentara di Gaza saat mereka terlibat dalam penghancuran warga Palestina dan infrastruktur fisik Gaza," ujar Ngcukaitobi.

Ngcukaitobi kemudian menyoroti pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 28 Oktober 2023. Kala itu, Netanyahu mendesak pasukan darat Israel yang bersiap memasuki Gaza untuk "mengingat apa yang telah dilakukan Amalek terhadap Anda".

"Ini mengacu pada perintah Tuhan dalam Alkitab kepada Saul untuk melakukan pembalasan terhadap penghancuran seluruh kelompok orang," ucapnya.

"Bukti niat genosida tidak hanya mengerikan, tapi juga sangat banyak dan tidak dapat disangkal," ujar Ngcukaitobi.

Pada hari kedua persidangan, Israel membantah argumen-argumen yang diajukan Afsel. "Komponen kunci dari genosida, yaitu niat untuk menghancurkan orang, secara keseluruhan atau sebagian, sama sekali tidak ada," kata tim hukum pemerintah Israel, kepada panel hukum ICJ, dikutip laman Anadolu Agency.

"Apa yang Israel cari dengan beroperasi di Gaza bukanlah untuk menghancurkan masyarakat, namun untuk melindungi rakyatnya yang diserang dari berbagai front, dan melakukannya sesuai dengan hukum, bahkan ketika mereka menghadapi musuh yang tidak berperasaan," ujar tim hukum Israel.


Tim hukum Israel kemudian menuduh Afsel selaku penggugat memiliki hubungan dekat dengan kelompok Hamas. "Sudah menjadi catatan publik bahwa Afsel mempunyai hubungan dekat dengan Hamas, meskipun mereka diakui secara formal sebagai organisasi teroris oleh banyak negara di dunia," kata mereka.

"Hubungan ini terus berlanjut bahkan setelah kekejaman yang terjadi pada 7 Oktober (2023). Afsel telah lama menjadi tuan rumah dan merayakan hubungannya dengan tokoh-tokoh Hamas, termasuk delegasi senior Hamas yang mengunjungi negara itu untuk 'pertemuan solidaritas' hanya beberapa pekan setelah pembantaian tersebut," tambah tim hukum Israel.

Israel juga membantah bahwa negara tersebut mendorong pengungsian paksa terhadap warga Gaza. Israel menegklaim mereka hanya ingin memastikan Gaza terbebas dari sel-sel teror.

"Israel bertujuan untuk memastikan bahwa Gaza tidak lagi dapat digunakan sebagai landasan terorisme, seperti yang ditegaskan kembali oleh Perdana Menteri (Benjamin Netanyahu) bahwa Israel tidak berupaya untuk menduduki Gaza secara permanen atau menggusur penduduk sipilnya," ungkap tim hukum Israel.

Tim hukum Israel menegaskan bahwa negara tersebut hanya memerangi Hamas, bukan rakyat Palestina. "Jika Hamas meninggalkan strateginya, melepaskan sandera, (dan) meletakkan senjatanya, permusuhan dan penderitaan akan berakhir," kata tim hukum Israel.

Keputusan ICJ atas kasus ini nantinya bersifat mengikat. Namun kemampuan ICJ untuk menegakkan atau menerapkan keputusannya sangat kecil. Lebih dari 23.800 warga Palestina di Gaza telah terbunuh sejak Israel melancarkan agresinya pada 7 Oktober 2023. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak. Sementara korban luka melampaui 56 ribu orang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler