100 Hari Perang Gaza: Tak Diketahui Kapan Konflik akan Berakhir 

Gaza sekarang pada dasarnya menjadi tidak bisa dihuni.

Republika/Thoudy Badai
Massa menggelar aksi solidaritas global untuk Gaza di depan Kedubes Amerika Serikat, Jakarta, Sabtu (13/1/2024). Aksi tersebut merupakan bentuk kepedulian dan dukungan terhadap Palestina dalam menghadapi konflik dengan Israel. Massa juga menuntut gencatan senjata menjelang 100 hari pembantaian yang dilakukan Israel kepada warga Palestina di Jalur Gaza, membuka blokade secara menyeluruh untuk bantuan kemanusiaan. Selain itu, massa juga ikut mendukung tindakan Afrika Selatan yang menggugat Israel ke Pengadilan Internasional atas dugaan genosida oleh Israel terhadap Palestina di Gaza.
Rep: Lintar Satria Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pada Ahad (14/1/2024), perang Israel-Hamas sudah memasuki hari ke-100. Perang ini sudah menjadi perang paling mematikan dan terlama Israel di Palestina sejak negara itu didirikan tahun 1948 dan belum ada tanda-tanda perang akan berakhir.

Baca Juga


Israel mendeklarasikan perang sebagai balasan serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu. Israel mengeklaim, dalam serangan itu yang paling mematikan dalam sejarah Israel itu Hamas membunuh 1.200 orang dan menculik 240 lainnya.

Israel meresponsnya serangan udara intensif selama satu pekan ke Gaza yang dikuasai Hamas lalu memperluasnya dengan serangan darat. Tel Aviv mengatakan tujuan operasi militernya untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.

Sebagian sandera sudah dibebaskan dalam gencatan senjata selama satu pekan pada akhir November lalu. Masih lebih dari 100 sandera yang ditawan Hamas di Gaza. Operasi militer Israel menimbulkan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di Gaza.

Namun, setelah lebih dari tiga bulan kemudian, Hamas belum berhasil ditumpas dan para sandera yang tersisa masih ditahan. Militer Israel mengatakan perang diperkirakan akan terus berlangsung sepanjang 2024.

Perang ini diperkirakan tidak akan mengubah Israel ataupun Palestina selamanya.

Serangan pada 7 Oktober membutakan Israel dan mengguncang kepercayaan masyarakat pada pemimpin-pemimpinnya. Meski terdapat dukungan kuat dalam operasi militer tapi masyarakat Israel sangat trauma dengan peristiwa itu.

Masyarakat Israel hampir setiap hari mengenang peristiwa 7 oktober di mana beberapa orang dibunuh di rumah dan di festival musik. Sementara beberapa anak kecil dan orang lanjut usia diculik.

Poster foto orang-orang yang masih disandera ditempel di jalan-jalan. Orang-orang mengenakan kaus yang mendesak pemerintah "Membawa Mereka Pulang."

Stasiun televisi Israel memberikan banyak jam tayangnya untuk meliput perang tersebut. Stasiun televisi tidak berhenti menyiarkan kisah-kisah tragedi dan kepahlawanan selama peristiwa 7 Oktober, cerita tentang sandera dan keluarga mereka, pemakaman tentara yang tewas dan laporan dari Gaza dari responden yang tersenyum di samping tentara.

Tidak ada simpati atau pembahasan tentang korban tewas dari pihak Palestina yang dibombardir selama tiga bulan lebih. Tidak ada tayangan mengenai krisis kemanusiaan di Gaza. Rencana usai perang sangat jarang dibahas.

Salah hal yang konsisten. Meskipun para pejabat keamanan Israel telah meminta maaf dan memberi isyarat mereka akan mengundurkan diri setelah perang, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tetap memegang teguh pendiriannya.

Dukungan terhadapnya turun tajam, Netanyahu menolak meminta maaf, mundur, atau menyelidiki kegagalan pemerintahannya. Netanyahu, yang telah memimpin negara itu selama hampir 15 tahun terakhir, mengatakan akan ada waktu untuk melakukan penyelidikan setelah perang.

Sejarawan Tom Segev mengatakan perang akan mengguncang Israel selama bertahun-tahun, dan mungkin beberapa generasi mendatang. Ia mengatakan kegagalan pemerintah mencegah serangan 7 Oktober dan ketidakmampuan membawa pulang para sandera mengobarkan perasaan pengkhianatan dan kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah.

“Masyarakat Israel ingin perang mereka berjalan dengan baik. Perang ini tidak berjalan dengan baik, banyak orang merasa ada sesuatu yang sangat salah di sini,” katanya.

Perubahan akibat perang lebih buruk lagi bagi Gaza dan masyarakat Palestina yang tinggal di sana. Sebelum serangan 7 Oktober hidup di Gaza sudah sulit karena blokade Israel dan Mesir usai Hamas menguasai pemukiman tersebut sejak 2007. Kini daerah itu hampir tidak dikenali.

Pakar mengatakan pengeboman Israel ke Gaza salah satu yang paling intensif dalam sejarah modern. Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan total korban tewas dalam serangan Israel mencapai 23 ribu lebih, lebih 1 persen dari populasi Palestina sebelum perang.

Ribuan orang terluka atau masih hilang. Lebih dari 80 persen terpaksa mengungsi, dan puluha ribu orang tinggal berdesak-desakan di tenda-tenda pengungsi di daera kecil di selatan Gaza yang juga ditembaki Israel.

Pakar peta dari Oregon State University Jamon Van Den Hoek dan rekannya dari City University of New York Corey Scher berdasarkan citra satelit memperkirakan hampir setengah bangunan di Gaza rusak atau hancur.

"Skala kehancuran atau kerusakan di seluruh Gaza sangat luar biasa," kata Vn Den Hoek di LinkedIn.

Jumlah korban jiwa juga mencengangkan. PBB memperkirakan seperempat populasi Gaza mengalami kelaparan. Hanya 15 dari 36 rumah sakit yang beroperasi. Sistem kesehatan di pemukiman itu ambruk. Anak-anak tidak sekolah selama berbulan-bulan dan tidak ada prospek mereka akan dapat kembali belajar di sekolah.

"Gaza pada dasarnya menjadi tidak bisa dihuni, kata kepala badan kemanusiaan PBB, OCHA, Martin Griffiths. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler