Yusril: Jokowi tidak Salah Katakan Presiden Boleh Kampanye dan Memihak
Keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tak bisa dibandingkan Bung Karno dalam Pemilu 1955.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, saat ini banyak pihak yang beranggapan bahwa tidak etis apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut berkampanye untuk salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Jokowi disebut memihak pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Menurut Yusril, tidak ada aturan yang dilanggar dengan keikutsertaan presiden dan wakil presiden melakukan kampanye. Karena itu, presiden boleh mendukung pasangan tertentu.
"Sekarang ada yang mengatakan 'tidak etis' kalau presiden kampanye dan memihak dalam pemilu. Aturan sekarang tidak seperti itu, maka Jokowi tidak salah jika dia mengatakan presiden boleh kampanye dan memihak," kata Yusril, dikutip dari keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Yusril menjelaskan, kalau etis dimaknai sebagai norma mendasar yang menuntun perilaku manusia yang kedudukan normanya berada di atas norma hukum, hal itu merupakan persoalan filsafat. Sehingga harusnya dibahas di DPR ketika merumuskan Undang-Undang Pemilu.
Tetapi, kalau etis dimaknai sebagai code of conduct dalam suatu profesi atau jabatan, menurut Yusril, normanya harus dirumuskan atas perintah undang-undang. Seperti kode etik advokat, kedokteran, hakim, pegawai negeri sipil (PNS), dan seterusnya.
"Penegakannya dilakukan oleh Dewan Kehormatan seperti MKMK atau Dewan Kehormatan Peradi. Masalahnya sampai sekarang kode etik sebagai code of conduct jabatan presiden dan wakil presiden memang belum ada," ucap Yusril.
Oleh sebab itu, lanjut Yusril, kalau seseorang berbicara etis dan tidak etis, umumnya berbicara sesuatu menurut ukurannya sendiri. Bahkan, orang kurang sopan santun atau kurang basa-basi saja sudah dianggap tidak etis.
"Apalagi dibawa ke persoalan politik, soal etis tidak etis, malah terkait dengan kepentingan politik masing-masing," kata wakil ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran tersebut.
Yusril menambahkan, apabila ingin melarang presiden dan wakil presiden ikut berkampanye maka memerlukan amendemen UUD 45. Begitu pula UU Pemilu harus diubah kalau presiden dan wakil presiden tidak boleh berkampanye maupun memihak pasangan tertentu.
Beda dengan Bung Karno...
Yusril melanjutkan, keadaan Jokowi dalam Pemilu 2024 tidak bisa dibandingkan dengan Bung Karno dalam Pemilu 1955. Waktu itu, sambung dia, Indonesia menganut sistem parlementer.
Sebagai kepala negara, Bung Karno harus berdiri di atas semua golongan. Bung Karno tidak memikul tanggung jawab sebagai kepala pemerintahan yang disandang Perdana Menteri Burhanudin Harahap kala itu.
"Wapres Hatta juga mengambil sikap netral dalam Pemilu 1955. Jadi kalau ada pihak-pihak yang menghendaki presiden harus netral tidak boleh kampanye dan memihak, maka jabatan presiden mestinya hanya satu periode agar dia tidak memihak dan berkampanye untuk jabatan kedua," kata Yusril.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan, seorang presiden juga diperbolehkan melakukan kampanye saat pemilu berlangsung. Selain itu, Jokowi menyebut, presiden juga boleh memihak pasangan calon tertentu.
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi didampingi Menhan Prabowo Subianto di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (24/1/2024).
Selain merupakan pejabat publik, kata dia, presiden juga merupakan pejabat politik. Kendati demikian, Jokowi menegaskan, dalam berkampanye, presiden tidak boleh menggunakan fasilitas negara.