The Marsh King's Daughter: Penuh Ketegangan, Minim Pendalaman
The Marsh King's Daughter dibintangi oleh Daisy Ridley.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Helena (Daisy Ridley) berusaha keras menjadi seorang perempuan "normal". Sekilas, hidupnya terkesan biasa-biasa saja. Dia bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan, menjadi istri seorang dosen, dan punya seorang anak perempuan.
Padahal, Helena memendam dalam-dalam masa lalunya, bahwa dia adalah anak dari sosok kriminal yang dijuluki Raja Rawa atau Marsh King, Jacob (Ben Mendelsohn). Masalah pelik muncul saat tiba waktunya Jacob bebas dari penjara dan kembali mencari Helena.
Ketika mengira sudah berhasil menyembunyikan masa lalunya, Helena malah dihadapkan pada satu demi satu memori yang terkubur. Helena kembali dihantui ketakutan dan trauma, apalagi ketika Jacob mengancam akan mengambil Marigold, putri Helena.
Kisah emosional dalam balutan genre drama kriminal ini tersaji dalam film The Marsh King's Daughter yang sudah tayang di bioskop Indonesia. Film memiliki alur maju-mundur, yang artinya penonton diajak melihat kisah sosok Helena saat dewasa maupun di masa kecilnya secara berganti-ganti.
Di awal, penonton mungkin mengira kehidupan tenteram Helena kecil di alam bebas di tengah hutan rimba sangat menyenangkan. Namun, baru terungkap kemudian bahwa pada tiap adegan itu, terdapat hal tersembunyi dan kekerasan dari sosok ayahnya.
Film ini bisa terasa mengganggu bagi penonton yang memiliki trauma masa kecil, atau hubungan "cinta-benci" dengan orang tua. Terdapat sejumlah adegan kekerasan domestik, meski yang digambarkan bukan penyiksaan penuh kesadisan.
Durasi film ini sebenarnya tak begitu panjang, yakni hanya 108 menit. Namun, entah mengapa tayangan thriller psikologi ini terasa sangat lama. Barangkali, itu karena alur ceritanya yang berjalan sangat lamban, menuntut kesabaran dari penonton.
Sejak awal, sutradara Neil Burger telah menyajikan berbagai ketegangan, ditambah elemen musik dan efek suara yang sangat mendukung. Bagi penyuka thriller atau yang gemar tayangan dengan teka-teki psikologis, ini bisa menjadi sinema yang menghanyutkan.
Sayangnya, pendalaman karakter dalam film ini sangat minim. Padahal, film diangkat dari novel best seller berjudul sama karya Karen Dionne. Dengan adanya sumber cerita, sangat mungkin jika tiap karakter punya latar belakang yang bisa dieksplorasi.
Nyatanya, itu tidak dieksekusi dengan baik dalam film. Hingga akhir, penonton tidak tahu apa motivasi si raja rawa menyekap Helena dan ibunya, atau bagaimana awal Helena dan suaminya membangun keluarga. Seolah, fokusnya hanya ketegangan demi ketegangan.
Setidaknya, lumayan menyenangkan melihat aktivitas luar ruang Helena kecil dan informasi trivia tentang alam bebas yang sesekali muncul di dialog. Film ini pun mengingatkan bahwa pada akhirnya, trauma dan ketakutan harus dihadapi dengan kepala tegak.